One Upon A Time in Long March : Mari Berkokok Bersama.

291966_2149552471519_820148_n

by Dodi Rokhdian 

Hari itu entah hari ke berapa kami di Medan Operasi (MO). Yang saya ingat,kami harus melakukan long march lagi, berjalan lagi, pindah lokasi latihan lagi. Mungkin hari ini hari ke sepuluh, atau duabelas-an,yang pasti semua sudah tak nyaman, ngaplek dipanggang matahari dan dikuras stamina kami oleh tekanan materi dan kerasnya MO. Debur arus Citarum di Bantar Caringin kami tinggalkan dalam langkah yang gontai. Derap kami tak gagah lagi, oleng ke kanan dan oleng ke kiri, atau nundutan tersungkur kepala ke ransel milik orang di depan. Bantar Caringin hanya lamat-lamat terdengar, di sekeliling kami terdengar bentakan dan teriakan pelatih kami.

“Perjalanan masih jauh?” Itulah kata-kata yang saya harus ingat dan kami harus pula menjawabnya,”Masih Jauh” demikianlah jawaban kami sambil menggerutu dalam hati. “Artinya?” disusul sebuah pertanyaan lain, dan kami, para siswa Diklatdas IX, akan menjawab pertanyaan itu dengan bodohnya,”Artinya Jalan Terus!” lalu berjalan kaki lah kami dalam tekanan alam,cuaca, dan teriakan. Para pelatih, yang mengawasi langkah kami di setiap sisi barisan, seolah tak bosan melontarkan pertanyaan, perintah, menyuruh-nyuruh bernyanyi, yang menurut mereka akan membuat kami semangat.

”Ya, semangat tuan, Punteeeen” Teriak kang Akuy, dia ini salah satu pelatih yang paling rajin mengikuti MO, selain Bonk sebagai Danops, Sadikin sebagai Tatib, Wilman dan kang Bano kesiswaan, juga kang Tera sebagai Wadanlat, atau Kang Budi Gambrut yang menjabat Dan Tatib. “Maaanggaa” Kata Sobur,salah seorang siswa seangkatan dengan saya. “Konsentrasi tuan,Plak-Plok” Sobur limbung dan oleng ke luar barisan, ia di peringati pelatih, tepatnya ia digaplok pipinya hanya karena menjawab ‘Mangga’ saja saat pelatih bilang ‘Punten’.

“Punteeen” Sekali lagi seorang pelatih berteriak di tengah –tengah longmarch dalam siang yang panas itu. Dan kami – para siswa Diklatdas Angkatan IX – yang tak mau diperingati seperti Sobur, lantas sigap, tiba-tiba konsen, dan mengalunlah koor kami dengan penuh gerutuan dan keterpaksaan.
“Mangga, ari ga, gatot gaca, ari ca, cape banget, ari nget, ngetan itam, ari tam, Tambling lagi” Dengan kompaknya, sambil tak rela karena konsekuensinya akan menjengkelkan dengan lagu itu.

“Ya, Tambling tuaaaan” teriak Kang Bano – kesiswaan kami yang paling tak pernah berpihak pada penderitaan kami. Lalu kamipun bergulingan tambling ditengah aspal yang panas dalam rute neraka Bantar Caringin – Gunung Tilu tersebut. Kami pun bergulingan mirip kura-kura yang kesulitan berbalik badan yang tak bisa menelungkup lagi.

Siswa memang selalu salah, selalu dianggap dogol. Dan pelatih? Nampaknya dalam setting Medan Operasi selalu menjadi sosok yang sempurna : tak pernah salah,tak boleh terlihat dogol, dan punya kuasa untuk melakukan apapun.

“Bur, teu nanaon euy?” Tanya Wawan sambil berbisik ke Sobur yang tadi ‘diperingati’, “Henteu Wan, teu Nanaon,” Kata Sobur sok tegar.
“Oh kitu, syukur lah, teu nambah bur?” Kata Wawan lagi. “Nambah naon Wan,” dibalas Sobur. “Nambah gaplokna bur” Seru Wawan. “Ah cekap wan, Wawan bade?” Ujar Sobur,”Bade naon bur?” Kata Wawan.
“ Bade digaplok ku aing” Kata Sobur kesel . Dan kami pun, dibarisan longmarch yang lunglai, tertawa cekikikan sambil mengawasi para pelatih.

Kami pun terus berjalan, berjalan amat jauhnya, amat capeknya, dan amat menjengkelkannya, dan amat hausnya. Pelatih tak jua memberi waktu untuk kami minum dan istirahat. Hingga suatu ketika, Luthfi Rantaprasaja – kupil – yang berjalan tepat didepan Sobur berbisik kebelakang, “Ssssst bur,bur, aya coklat di saku ransel urang tah, pangnyokotkeun euy, ngke maneh dibere, buuuur” Kata kupil sambil memberi isyarat pada Sobur. Saya dibelakang Sobur,dibelakang saya Wawan barang, selanjutnya butet, Opik, Barbar, lalu ke belakangnya lagi saya tak ingat. Disamping barisan longmarch kami,lalu lalang para pelatih yang ‘jaga image’ dan sok kuat dan sok tegar. “Cepat-cepat, jalan terus” katanya.

Dan Soburpun grasak-grusuk mengambil sesuatu di kantong ransel kupil di depannya. Seeeet, sesuatu berbentuk batang, nampaknya coklat diambil oleh tangan sobur diam-diam sambil culang-cileung. Saya tahu dan Wawan Barang pun tahu aksi Sobur, “Bur bagi euy”. Sobur sigap, dibagikan coklat itu ke belakang, setelah ia mengambil bagiannya. Saya ambil bagian buat saya, lalu over ke Wawan Barang, dan selanjutnya coklat kupil itu habis setelah dibagikan ke bagian belakang barisan dibelakang. Pemilik coklat, tepatnya saudaraku kupil, kemudian bertanya pada Sobur,” Aya coklat teh bur? Mana bagian urang?” kata kupil penuh harap dengan muka pengen (mupeng).

“Euweuh pil, dimana nyimpen-na?” Kata Sobur sambil berakting seolah-olah. Seolah apa? Seolah ia tak menemukan coklat itu, dan seolah ia tak bersalah. Sobur bermain akting seolah-olah ia betu dan sungguh l tak nemu dan tak makan coklat itu diam-diam dengan saya, dengan Wawan Barang,dan dengan rekan dibelakang kami.

”Serius bur, tadi isuk mah aya euy,serius Bur,” Kata kupil yang gak mau raut mukanya, ia penuh kecewa, harta paling berharganya hilang tak tahu rimbanya. “Poho meureun maneh Pil” Celetuk Wawan sambil ngusap mulutnya yang belepotan sisa coklat milik saudaranya tersebut.
“Nya enggeus lah, meureun poho” Tegar kupil. Kami yang bersekongkol cekikikan tak tahu diuntung, kami memang keji, bergembira diatas penderitaan saudara ku. “Ngke lah pil ku urang dibere coklat, ieu mah coklat mahal, merekna oge antik euy” Bisik Wawan mencoba menghibur Kupil. “Coklat naon euy?” kata opik penasaran. “Nanti weh mun nga-base camp” janji Wawan pada kami waktu itu.

Sehabis longmarch, sehabis persekongkolan jahat pada Saudaraku Kupil, di sela-sela bermasak, kami semua menagih janji Wawan, janji tentang ia punya coklat. “Mana Wan, mana coklat mahal teh, bagi euy?” Kata kami di bivak-nya, “Cokot tah, urang geus bosen euy,” Kata Wawan dengan sombongnya. Sebuah kantong plastik di keluarkan, lalu kami pun terkejut, karena coklat milik Wawan sangatlah aneh dan unik. “Wah, ieu mah silver Queen Cicadas euy, bisa kongkorongok nke isuk mun dahar ieu coklat” Kata Sobur sambil memperlihatkan coklat kepunyaan Wawan. Naon merekna euy? Seru sekalian kami, “Cap Hayam euy “ Dan kamipun berkokokok sama-sama. Wawan memang baik, baik dan sangat irit.

Di saat globalisasi Silver Queen melanda Diklatdas IX kala itu, di saat havermut jadi santapan tiap pagi, ia tetap konsisten dengan sikap iritnya. Mari kita berkokok bersama-sama, karena besok longmarch lagi. Ayo tuan, tegar tuan, ingat besok (Cap) ayam berkokok, dan kamipun terlelap di bivak, sambil berdoa,”Semoga saudaraku kupil memaafkan kami semua”.