“Bill, kadieu yeuh di tenda, haneut ..” Seru Wawan Barang (wanbar) sambil cekikikan bersama barbar kala itu. Ini ajakan apa jebakan? Saya hanya menduga bahwa ini sebetulnya ajakan persaudaraan yang tulus seorang palawa kepada saudaranya sekaligus jebakan buat yang diajak.
Bill yang diajak itu sedang tergolek beralas terpal tanpa tenda menaunginya, badannya hanya berbungkus jaket tipis tanpa sleeping bag. Bill yang malang, ia gemeretuk kedinginan saat itu, ia tidur tanpa bisa lelap oleh dekapan hawa dingin Leuweung tengah.
“Bill, kadieu atuh, di tenda yeuh haneut …” Celetuk Wanbar lagi sambil cekikikan kembali. Malam seakan diam dan angin pegunungan tiba-tiba tak bertiup ditengah ajakan Wanbar tersebut.
“Kadieu Bill , gancang bill bisi kaburu beakeun” Celetuk Barbar. Samar-samar dari dalam tenda Wanbar dan Barbar terdengar bebunyian bersahutan dan sambar menyambar, “ Duuut, duut, preet, duuut” Berkualitas sekali bunyinya saat Wanbar buang angin, “Bil kadieu euy gancang bisi beakkeun hitutna” Seru Barbar kali ini sambil membuka resleting pintu tenda dome mencari hawa segar sambil cekikikan penuh kegembiraan.
“Kop jang maneh kabeh bar …” Seru Bill sambil berusaha memejamkan matanya yang tak bisa diserang kantuk saking dinginnya. Bill memilih tetap diluar dan tetap kedinginan dibandingkan menerima ajakan penuh perhatian Wanbar dan Barbar. Tawapun meledak mewarnai malam penuh persaudaraan kala itu.
Kala itu malam mendekati pagi di Leuweung Tengah kawasan hutan, gunung, dan rawa di ranca upas dan kami berkumpul kembali di tempat yang seakan rumah kedua buat jiwa-jiwa yang tertambat hatinya oleh keanggunan gunung gemunung. Selamat datang kembali di medan operasi diklatdas palawa, saya beranjak tua kini, hingga lupa ini diklatdas ke berapa. Tidak penting apakah Bill tersinggung atau terhibur dengan ajakan menjebak tersebut, tidak penting karena yang terpenting adalah makna dibalik candaan penuh tendensi tersebut tersembunyi persaudaraan yang kekal, guyub, khas, dan tak dijumpai di komunitas manapun, entah bagi yang lain? Malam yang berkesan, saya merasa ingin menghentikan waktu selamanya agar selalu berada di suasana yang penuh canda, hangat, dan menggetarkan itu, tapi jelas bukan ingin masuk ke tenda lalu terjebak aroma buangan gas Wanbar. Biarlah ajakan Wanbar itu buat Barbar seorang, entah saudaraku yang lain?
Malampun berlalu, pagi kemudian datang di tengah rimbunnya pepohonan, saya segera bergegas melaksanakan panggilan alam ke rerimbunan. Golok tebas pinjaman ditangan dan beberapa lembar tissue gulung ditangan lain. Ah nikmatnya melepas semua ampas di tubuh keluar, tak terasa wangi semerbaknya dikalahkan bau dedaunan dan embun pagi. “lega sudah, dari perut kembali ke tanah, from the dust to the dust, biarlah alam bekerja untuk mengurai peninggalan ini” tutur saya dalam hati sambil menutup barang bukti ampas diperut itu dengan tanah takut terinjak orang.
Persoalan panggilan alam teratasi masalah lain kemudian muncul, ada wangi semerbak jigong menyergap, saya sigap ambil sikat gigi dan odol dan segera ke sungai kecil menggosok gigi bersama kupil sambil bercakap-cakap, ketawa-ketiwi, dan berangan-angan punya rumah dan tanah di leuweung tengah sambil membasuh muka dengan air asli pegunungan. “kayaknya bagus buat berkembang biak dan buat perkembangan anak-anak kita kelak” tutur kami berdua kupil saat membayangkan anak-anak kita tumbuh dan berkembang di lingkungan yang sehat seperti hutan di leuweung tengah ini.
Pagi beranjak siang, saya terpaksa dan dipaksa pulang karena istri di rumah pasti meradang seandainya saya kebablasan betah dan meninggalkannya kedinginan sendirian di Cipulir sana. Setelah sarapan dan minum kopi yang sungguh nikmat saya pun harus ingat kewajiban lain. Oh masa kini bukan lagi masa lalu, masa kini tak sebebas dulu lagi, masa kini saya menanggung beban kewajiban sebagai kepala rumah tangga. Saya terus merasa, bahwa keanggunan gunung tak bisa dilupakan begitu saja, walau sejenak harus dikalahkan oleh sms yang terus meminta saya segera pulang. Bersama Ajo Rantang, Kupil, dan kenangan gas buangan Wanbar, saya kemudian beranjak pulang menemui sang istri di rumah diatas moda transportasi umum menuju dunia nyata ke sisi selatan Jakarta.