“Hueek..sangu teh gigih kieu..!” ujar Dodi memuntahkan nasi yang baru disuapnya.
“Teu baleg masak teh,”celoteh Eris.
“Danpur na saha ieu?” Riza tak mau ketinggalan melancarkan somasi.
“Mending dahar ka Bandung mun kieu mah,” keluh Wawan sang Danlat melengoskan nasinya dengan putus asa.
Ditengah suasana medan operasi yang riuk pikuk oleh komplain atas ransum mereka, Olive yang menjabat danpur malam itu matanya menjadi berkaca-kaca. Ia merasa kurang dihargai walau sudah bersusah payah memasak untuk mereka. Tak terasa pipinya basah. Buliran air hangat menetes deras.
“Aku kan.. udah bilang.. ga bisa masak..,” ucapnya terbata-bata.
“Tapi aku kan…udah berusaha,” ia makin terisak melihat nasi buatannya –yang tak diragukan lagi, memang gigih!- dibuang-buang. Suasana jadi serba salah, Riza tak tega melihat teman seangkatannya terisak. Yang lain juga merasa tak enak juga jadinya.
“Enak kok, Liv.. tadi mah becanda aja,” ujar Riza sambil menyuapkan jatah nasinya. Langsung ditelannya nasi gigih itu. Glek.. sejenak lambungnya terasa ngerenyed.
“Iya enak..nih liat,” kata Eris juga memaksakan menyuap nasinya demi menghibur Olive. Glek!
Yang lain juga tak tega, sedikit demi sedikit ditelannya nasi gigih dalam nestingnya masing-masing itu.
“Pokonya kalo ga dihabisin aku ga mau masak lagi,” Olive ternyata masih merajuk. Walau menyedihkan, barangkali ini merupakan sebuah moment of truth bagi Olive karena suatu hari kelak rumahnya yang di jalan Cipaganti menjadi salah satu tempat kuliner paling diminati di Bandung.
“Iya..iya.., pasti habis.” Wawan juga tak berkutik langsung menelan beberapa sendok. Realistis saja pikirnya, ia juga tak bisa membayangkan medan operasi berjalan tanpa ada danpur. Ia pun memaksakan menelan nasi itu. Glek..glek..
Sejenak Wawan terngiang gurihnya nasi liwet buatan Dudung yang kini sudah pensiun dari jabatan danpur, setelah periode jabatannya yang lima tahun berakhir. Dudung menampik jabatan danpur abadi karena ingin memberi pembelajaran demokrasi di perhimpunan.
Sejak Dudung lengser dari Kementrian Dapur, pos itu memang kosong. Terlatih sebagai danpur sejak di bivak siswa, teman seangkatannya ini memang memiliki passion memasak di lapangan. Logistik tentu sangat penting dalam sebuah diklat, namun kerap perbekalan ini saja tidak cukup melainkan harus ada kreatifitas bahkan passion untuk menyiapkan ransum. Tidak perlu mewah, namun cukup menyenangkan untuk dinikmati bersama.
Komandan Dudung merupakan orang langka dalam hal ini, ia bersedia memanggul sendiri sekarung beras dari pasar Kiaracondong atau membawa tabung elpiji ke Manglayang demi urusan perut para koleganya. Walau dalam kondisi paling ekstrim ia tetap dengan optimis mengeluarkan peralatan memasaknya. Dalam hujan mengguyur atau pada dingin yang menggigit ia dengan lincah dan atraktif memainkan handril, sendok dan nesting diatas kompor, lalu mulai meracik berbagai bahan makanan. Sebutir telur bahkan satu siung bawang dengan cermat akan dibagi sebanyak panitia dengan ukuran yang -ajaibnya- sama.
Namun jangan coba-coba mengusik otoritasnya dalam cooking departement di medan operasi. Ia bagai provost yang dengan tegas menghardik siapapun yang berniat mengutil masakan sebelum dihidangkan. Wilayah dapur berada dalam pengawasan dengan radar yang berlapis, walau untuk sesendok garam sekalipun.
Dalam kondisi lelah, basah atau suhu yang menusuk seperti sering dijumpai dalam medan operasi diklat, maka inisiatif dan determinasi untuk memasak adalah segalanya. Tak banyak orang yang bersedia jadi danpur karena memang berat dan mungkin dianggap kurang prestisius. Padahal sebenarnya asap dapur yang mengepul merupakan nyawa dari sebuah diklat. Namun tampaknya Dudung belum mewariskan sulap kulinernya itu kepada generasi selanjutnya, mungkin karena belum ada yang lulus fit and proper sebagai danpur.
Siapapun yang pernah menjabat danpur merasakan peliknya mengurus ransum panitia dan siswa di medan operasi. Anggaran untuk memasak memang terkadang membuat siapapun yang menjadi danpur kala itu bisa naik pitam. Bagaimana tidak naik ke ubun-ubun, kadang hanya Rp 10.000,- untuk belasan orang, kadang Rp 20.000,- untuk beberapa hari. Dikabarkan beberapa personil danpur kerap terserang migrain mendadak kala mengurus logistik di medan operasi diklat.
“Atur-atur aja lah,” paling cuma itu respon Danlat seperti tak ingin tahu, bila personil dapur komplain. Sementara para pelatih yang capek pasti bersungut-sungut bila hanya mendapat hidangan yang tidak 4 sehat 5 sempurna. Duh, susahnya jadi danpur..
Jadi barangkali koki yang ekstrim bukanlah cheff di hotel internasional yang meramu hidangan lezat nan mahal, melainkan mereka yang memasak biasa-biasa saja namun melakukannya ditengah kondisi yang ekstrim seperti cuaca buruk, base camp yang luluh lantak dan dalam keletihan yang mendera. Maka rasanya wajar bila kita salut dan memberi penghargaan setinggi-tingginya pada mereka yang bersedia melakukannya, dikala yang lain enggan dan menghindar. Jadi, bila dihidangkan nasi gigih oleh danpur..yah, telan saja. Glek..glek!