Kisah Para Penyandang Beban Di Punggung: Dari Kaum Hippie Hingga Ayam Penduduk

menuju Chiang KongBy : Dodi Rokhdian

Backpacker bukan menghabiskan uang di perjalanan, tapi kehabisan uang diperjalanan – Holmes

Backpacker dalam kamus Inggris dijelaskan sebagai “a hiker who wears a backpack” (seorang pejalan kaki yang mengenakan tas punggung). Diartikan secara harfiah maknanya menjadi penuh problematis. Apakah keponakan saya yang setiap hari ke berjalan sekolah, dengan ransel di punggunya, bisa disebut backpacker? Apakah pedagang kaki lima di alun-alun Bandung, yang juga membawa barang dagangan dengan ransel di punggung (kemudian menggelarnya di trotoar) juga backpacker? Apakah Si Mbok jamu gendong, yang berkebaya dan membawa jamu di punggung, yang dililit kain, juga seorang backpacker?

Ah saya bingung jadinya, karena jika merujuk pada arti kamus, maka semua pertanyaan diatas bisa sah sebagai backpacker, apapun alasan dan niatan dibalik bawaannya di punggung. Kalau begitu para kindew (pengumpul barang bekas/tukang beling) yang membawa temuannya dengan karung/tolombong di punggungnya pun bisa disebut backpacker.Kriteria sah atau tidak sah (legal atau ilegal) tentang siapa sebenarnya sosok backpacker sejati tak akan ada di tulisan ini, hal itu karena saya bukan Menhumkam yang punya kuasa menentukan keabsahan kriteria backpacker (anggap saja backpaker itu parpol). Tulisan ini hanya ingin berbagi cerita tentang kebackpackeran (yang lagi mewabah di Indonesia sejak era penerbangan murah di tahun 2000-an), sambil saya selipkan cerita pengalaman pribadi ketika saya (seolah-olah) dengan gagahnya mengaku backpacker (padahal dodi)

Rucksack or Rucken
Ciri utama seorang backpacker tentu terkait jenis tas yang disandangnya, khususnya ketika bepergian: yakni tas punggung (yang selanjutnya saya bilang ransel). Ransel dalam sejarahnya bisa dirujuk ke masa sebelum Perang Dunia ke-1, tepatnya pada tahun 1910-an, ketika di benua Eropa (khususnya di Jerman) berkembang suatu jenis ransel yang disebut ‘rucksack’ yang berasal dari bahasa Jerman yakni ‘Rucken” yang artinya ‘punggung’. Rucken pada awalnya digunakan orang Jerman untuk mengangkat batu atau beban berat, yang digunakan dengan paduan lilitan tali pada pada tubuh, agar nempel dibagian anatomi tubuh terkuat, yakni di punggung.

Sementara Rucken dalam pengertian sebagai produk massal, pertamakali diproduksi pihak militer, sebagai bagian perlengkapan wajib, karena pertimbangan bisa membawa banyak perlengkapan dan efektif mendukung pergerakan. Seiring perkembangan teknologi kini ransel ruckeni semakin canggih dan nyaman, dan meluas digunakan berbagai kalangan. Istilah ‘bodypack’ yang kita kenal dewasa ini sesungguhnya bentuk evolusi teknologi struktur tali ‘rucken’ yang membuat ransel nyaman menempel pada tubuh kita saat dibawa berjalan, berlari, menunduk, atau melompat.

Ketika kita menyandang ransel (untuk maksud apapun) maka kita sebenarnya sedang terkontak dengan perkembangan sejarah manusia sebagai ‘homo faber’- si mamalia berpikir penemu dan pengguna alat untuk menyamankan diri dan bertahan hidup. Sehingga jangan heran, bila ras manusia bisa hidup dimanapun di berbagai lanskap dan ekosistem bumi (tidak seperti binatang yang hanya cocok di suatu belahan tertentu). Hal tersebut disebabkan manusia adalah mamalia tersukses saat bermigrasi, yang didukung kemampuannya ‘membawa peralatan hidup’ dibagian tubuh terkuat dipunggungnya. Kelebihannya lagi, jika manusia tidak memakai punggungnya sendiri, ia sanggup memanfaatkan ‘punggung’ makhluk lain dengan domestikasi atau penjinakan: kuda, keledai, onta, bahkan gajah yang besar segede gaban pun sanggup dipinjam dan dijinakan ‘punggungnya’.

Backpacker Sebagai Wacana Tanding
Siapa dan sejak kapan backpacker sebagai alternatif model wisata mulai dikenal di muka bumi manusia ini? Tidak ada kepastian dalam sejarahnya, namun beberapa sumber tertulis, dan bisikan wangsit, menyebut tentang seorang tokoh dan sebuah rute legendaris bernama ‘Hippe Trail sebagai pemicunya.

Adalah Giovanni Francesco Gemelli Careri (1651-1725) seorang pedagang sekaligus petualang Italia, yang dianggap sebagai orang pertama yang melakukan tur keliling dunia dengan delapan puluh hari pelayaran. Beliau dianggap lebih mengutamakan kesenangan ketimbang mencari keuntungan dagang saat melakukannya. Beberapa pihak mencurigai perjalanannya sebagai bagian aktivitas mata-matanya bagi Vatikan, namun rasa curiga tersebut tak menghalangi orang untuk terinspirasi.Sementara aktivitas backpacker sebagai alternatif model gaya baru turisme berhutang pada sejarah gaya berwisata subculture kaum‘Hippie’ Amerika dan Eropa pada tahun 1950 hingga 1970-an.

Model wisata kaum Hippie ini meninggalkan jejak ‘Hippie Trail” – rute wisata legendaries, yang dilakukan low budge,t menempuh perjalanan panjang dari kota di Eropa atau Amerika dan hingga berakhir di kota/negara di belahan selatan/tenggara Asia. Hippie Trail sekan napak tilas menyusuri ‘jalur sutra’ yang secara wacana menawarkan model wisata alternatif, irit biaya, penuh kejutan dan resiko, namun menyenangkan bagi yang memilihnya, dan bisa dilakukan siapapun tanpa harus menjadi kaya terlebih dahulu. Sayangnya hippie trail kini tidak bisa dijalani secara utuh, terhenti sebab politik dan peperangan di salah bagian satu rute tersebut, yakni di bagian negara Afganistan pada tahun 1980-1990 ketika berkecamuk perang Uni Sovyet dan Mujahiddin.

Balada Si Roy dan Ayam Backpacker
Saya yang bukan orang kaya dan bukan pewaris gen petualang pun memimpikan bepergian dengan model backpacker, macam betul saya ini (jiga nu enya dalam bahasa sundanya mah). Tapi inspirasinya bukan karena kaum hippie dan Careri tapi karena cerpen Gola Gong berjudul “Balada Si Roy”. Balada Si Roy rutin muncul di majalah ‘Hai’ yang saya selalu baca karena Bapak rela bayar bulanan untuk berlangganan. Si Roy sebagai sumber inspirasi digambarkan menyandang ransel biru, bepergian dan mendaki, berkelahi, menjalin persahabatan, naik turun angkutan omprengan atau liften, tidur dimana ia dapat, punya pacar, suka surat-suratan, makan dimana saja yang penting murah (sayangnya ia tidak suka darmaji). Ia selalu punya kisah menarik di setiap perjalanan backpackernya dan sejak itulah saya (dan mungkin sebaya seangkatan) menyukai dan memilih hobby dengan model atributif sebagai ‘penyandang ransel di punggung’.

Pendakian gunung pertama saya terjadi tahun 1984-an, waktu kelas dua SMP bersama teman sekelas, ke gunung Tampomas di Sumedang. Sudah bisa ditebak akhirnya, kami gagal mencapai puncak, itu karena kami tidak jadi mendakinya karena takut mendakinya : Gunung Tampomas saat di lihat dari kota Sumedang begitu menjulang diselubungi awan mendung, nyali kami ciut Kami akhirnya hanya berkemah di kakinya, tiga malam, dan setiap malam tidak bisa tidur karena kehujanan disebabkan tendanya tenda pramuka, yang amboi-amboi kuyup dan roboh saat diterpa angin dan hujan. Saat pulang ke rumah dengan gagahnya saya bilang ke bapak bahwa saya berhasil menaklukan puncak Gunung Tampomas, ck ck ck kata Bapak saya waktu itu sewaktu masih hidup.

Ada lagi kisah lain, yang ini butuh ekstra keberanian untuk menjalaninya, ini terkait ‘backpackeran’ juga saat kemping dan mendaki gunung di Bandung selatan, kali ini bersama teman-teman SMA era tahun 1990-an, teman-teman yang baik dan rendah hati.

Suatu malam kami habis bekal, udara amat dinginnya dan kelaparan karena logistik habis. Kami memilih tidur waktu itu di tenda, karena besok akan pulang untuk mengakhiri pendakian dan berkempingnya. Tiba-tiba. Teman saya membangunkan kami semua yang berlima, ia meminjam cutter atau pisau..“Jang naon?” kata teman lain tanya padanya buat apa. “ah pokona mah aya lah” Katanya sambil bilang ada deh dan bergegas ia ke arah pemukiman penduduk, yang lumayan jauh ke arah lembah.

Sejam atau dua jam berlalu, tengah malam tepatnya, akhirnya teman kami yang minjam pisau/cutter tersebut datang dengan ‘backpackeran’ pula, sayangnya ransel punggungnya dipenuhi sesuatu, bukan dipenuhi kebijakan, tapi dipenuhi sesuatu hasil operasi senyapnya, sesuatu yang berbunyi-bunyi ciak-ciak-ciak suara unggas. Teman saya mencuri ayam penduduk. Katanya ini tindakan ‘madarat’ alias darurat yang dilakukan demi kebaikan menghindari kondisi kelaparan

“Daripada maraneh paeh, sok mun madarat mah dahar daging haram oge bisa kan ceuk agama?” Ia berdalih situasinya madarat/darurat yang menurutnya boleh melakukan curanyam (pencurian ayam red.) katanya ada hadistnya, katanya semua kala itu. Ah kami iyakan saja saat itu, karena kemudian kami makan kenyang hasil dua ayam jerih payahnya sang teman.“Ngeunah kan? Pokona mun penduduk kadieu kabeh kudu tanggung jawab nya?” (Nah enak kan? pokoknya kalau penduduk ke sini semua harus tanggung jawab yah?)

Mendengar ujaran terakhirnya itu, kami tak bersepakat. “Ah maneh weh nu tanggung jawab mah, kan maneh nu maok na” Ujar kami kompak berkelit tak mau terlibat kalau ketahuan penduduk. “Tuh anyinglah, giliran geus beak embung nanggung resiko” (tuh kan giliran ayam habis ogah naggung resiko). Anehnya kami sempat tertawa waktu itu, tawa yang ironis, tawa diatas penderitaan penduduk yang kehilangan ayamnya.

Kami pun memilih jalan aman, takut digebukin sekampung, semua barang bukti berupa bulu-bulu, ceceran darah, fosil tulang belulang sisa ayam, dan sebagainya di sekitar kemah kami bersihkan. Kami melakukan penghilangan jejak dan barang bukti dengan sigap, yang dilakukan pagi buta oleh para ‘backpacker’ belia penuh akal dan tak terpuji tersebut.

Itulah sekelumit kisah dibalik sisi-sisi backpacker, baik dan benar bukan moral ceritanya, pilhan menjadi penyandang beban di punggung itu kemudian berlanjut hingga kuliah (saya dibuat lulus 14 semester) dan hingga ke pekerjaan. Hingga tulisan ini selesai dihadirkan, saya sedang berkutat dengan perjalanan dan pekerjaan, menyandang beban-beban ransel dan kehidupan, di punggung yang semakin tak sekuat dulu lagi, saya memilih tidak mengeluh. Tegar Tuan!

Demikianlah, ditulis sebelum menuju Semenanjung Kampar, Juni 2015