Take Nothing but Picture

 

10400315_1144322101775_5990050_nSekali kesadaran akan kekuatan diri tumbuh, maka dia tak mungkin lagi dihilangkan (Cas Oorthuys, Fotographer)

 

Setiap melakukan packing sebelum berangkat menuju pegunungan, Luthfi mengemas logistik lebih rumit dibanding rekannya yang lain. Ia kerap harus memutar otak memasukkan dengan amat hati-hati peralatan fotografinya ke dalam carrier. Setidaknya itu akan membebaninya beberapa kilogram tambahan.  Seringkali ia harus membawa daypack tambahan untuk mengamankan peralatan fotografinya. Namun demi mendapatkan foto-foto yang “berbicara”, seluruh tambahan beban itu sungguh tak sebanding baginya. Selalu terngiang dalam benaknya motto perjalanan take nothing but picture hingga kemanapun ia pergi menjelajah tak pernah lepas sebuah kamera dibawanya.

 

Peralatan perang

Maka sebuah kotak hitam berisi kamera SLR Pentax K1000 yang legendaris itu selalu menemani petualangan-petualangannya ke berbagai pegunungan. Kala itu jenis kamera ini merupakan andalan bagi banyak para petualang yang hobby fotografi. Bukan saja karena harganya cukup terjangkau namun juga karena karakternya yang bandel.  Beberapa peralatan tambahan berupa lensa wide 28 mm untuk lansekap,  lensa tele 70 mm dan lensa zoom menjadi standar accesoris yang dibawanya pula. Jangan lupakan filter warna dan polaris untuk mendapatkan foto yang dramatis plus juga monopod untuk foto malam atau minim cahaya. Dengan peralatan itu ia dapat leluasa melakukan eksperimen dan hunting foto dalam berbagai petualangannya di alam liar.

Setiap mendirikan basecamp ia mengekplorasi berbagai lansekap alam di sekitarnya dalam dokumentasi yang apik. Luthfi tak pernah segan menaiki pohon yang tinggi di Situ Lembang demi mendapatkan foto yang berkarakter. Pagi hari di danau Segara Anak atau pada malam hari di hutan gunung Tambora ia melakukan eksperimen fotonya agar berbagai keindahan itu dapat dicerap oleh orang lain. Kombinasi keindahan berbagai unsur alam di pegunungan baginya merupakan suatu keindahan yang sulit dilampaui oleh apapun juga. Ia merasa berkewajiban “membawa” sejumput keindahan itu kepada mereka yang tak sempat menyaksikannya.

 

Membawa berbagai “perlengkapan perang” itu dalam suatu hunting foto di kota tak akan terlalu menyusahkan namun membawanya ke puncak-puncak tetinggi di nusantara seperti Latimojong atau Mahameru tentulah tak mudah. Tak ditimpa cuaca buruk saja sudah merupakan hal yang meringankan perjuangannya mendapatkan foto-foto yang dramatis. Namun bahkan dalam cuaca yang terbilang bersih sekalipun amat sulit menggerakkan jari-jari yang mati rasa menjelang matahari terbit di atap pulau Jawa saat ia berusaha mengabadikan sun rise di puncak gunung Semeru.

 

Hunting di Mahameru

Detik-detik menjelang terbitnya matahari terasa momen yang amat panjang. Udara dingin dan angin kencang terasa brutal menghantam jaket gore-tex yang melindungi badannya. Luthfi melindungi kameranya dengan hati-hati dari badai pasir  yang sesekali bertiup ke arahnya. Hanya pada saat-saat yang pendek ia punya kesempatan untuk mengeluarkan kamera dari tas lalu membidikkannya. Namun sulit membidikkan kamera dengan kaos tangan tebal hingga ia terpaksa membuka kaos tangannya yang mengakibatkan jari-jarinya mati rasa. Bibirnya pun mulai terasa mati rasa pula hingga ia kesulitan menyampaikan maksudnya kepada rekan-rekan yang lain. Akhirnya mereka menggunakan  beberapa bahasa isyarat untuk memperlancar komunikasi walau dalam jarak hanya beberapa meter.

Akhirnya pijar merah itu muncul juga. Mulai dari cahaya remang di ufuk Timur kemudian perlahan horison di sekitarnya berpendaran oleh cahaya merah hingga akhirnya matahari yang berbentuk bulat dengan warna merah yang jernih dan segar muncul seperti bayi yang baru lahir. Ia merasa menyaksikan sebuah sebuah kehidupan baru dimulai. Dengan menahan nafas Luthfi mengabadikan momen bersejarah itu dengan jepretan kameranya.

Saat menjepretkan kamera pada cahaya merah yang berpendaran itu ia didera emosi beraduk yang sulit diungkapkan. Antara takjub, lega  dan rasa sakit di persendian akibat gigitan dingin. Namun setelah mengabadikan momen itu ia tak dapat segera turun, setidaknya ia masih harus berada di ketinggian itu  hingga satu jam lagi untuk  mendokumentasikan berbagai momen lainnya. Ia masih ingin mengabadikan samar-samar puncak-puncak gunung di sebelah Timur yang akan terlihat dari puncak Mahameru, seperti gunung Agung dan Rinjani.

 

Pengalaman saat hunting sunrise di puncak gunung Semeru tak dapat dilupakannya. Itulah momen paling dramatis yang dialaminya demi mendapatkan foto. Ia sering hunting foto di berbagai lokasi di kota Bandung seperti pusat kota, Gedung Sate atau kampus. Namun tak pernah sampai bersusah payah seperti itu. Di kota momen yang bagus untuk hunting foto maupun experimen datang dan pergi setiap hari hingga ia dapat melakukannya kapanpun ia mau, namun di ketinggian ekstrim itu hanya beberapa detik saja kesempatannya.

Pada momen yang pendek itu ia harus mengeluarkan seluruh kegigihannya agar perjalanan panjang itu tak menjadi sia-sia. Momen itu mungkin tak akan pernah berulang lagi seumur hidupnya karena barangkali ia tak akan punya kesempatan lagi mendaki Mahameru. Tak pernah ia merasakan detik-detik yang begitu mendebarkan dalam sebuah hunting foto. Entah saat melihat matahari terbit atau kala digigit beku pada ketinggian 3.676 meter dpl di antara nisan So Hok Gie dan Idhan Lubis.