Desember 1995. Di dalam kelebatan hutan gunung Patuha, base camp pelatih baru saja dilanda eforia karena suply logistik baru saja tiba. Lewat magrib di pegunungan, perut –perut lapar bagai menyanyikan lagu keroncong yang berirama. Ayung dan Susyana baru datang dari Pasar Unyil, Ciwidey membawa dua keranjang nasi bungkus.
“Wayahna we menu na ngan sangu jeung hulu hayam,” ujar Ayung agak muyung. Apa boleh buat, karena kurang personil di lapangan Ayung yang menjabat Tatib pun terpaksa ketempuhan merangkap danpur. Tentu saja jangan harap dihidangkan menu timbel komplit dari danpur dadakan. Ia hanya diberi sepuluh ribu untuk mencukupi ransum malam itu. Memilih menu saja sudah bikin aral.
Namun di antara dinginnya udara pegunungan, ditambah rasa lelah setelah mengaping siswa menu sederhana itupun dirasa “cukup”. Ketidakpuasan tentu ada.
“Mun teu hulu..ceker….” keluh Bais membuka nasinya.
”Lila-lia ngan dibere bulu hayam,” Wawan menarik nafas panjang.
“Ari siswa dahar kornet..” Dodi menerawang kepala ayam itu dengan pandangan hampa. Mata ayam itu terasa meledeknya.
Namun yang membuat makanan terasa enak adalah rasa lapar, sehingga menu ala Ethiopia ini pun langsung ludes dibagikan dalam beberapa hitungan. Dua kantong keresek besar segera kempes nyaris tak tersisa.
“Kok masih ada sisa satu..?” gumam Susy,” kayanya tadi itungan kita udah pas ya, Yung.”
“Iya..kok bisa” Ayung garuk-garuk kepala .
“ADA YANG BELUM KEBAGIAN NASI BUNGKUS..?!” teriak ibu Danlat Susy. Bukan berarti Susy menjabat Danlat , namun kala itu Susy ada hubungan tersendiri dengan sang Danlat.
Iguy yang menjabat Tatib ngacung ,” Aku belum Sus.”
“Kok ga ngambil?” tanya Susy
“Abis belum laper sih,” ujar Iguy santai.
Wah, gawat. Susy tahu benar riskannya melewatkan ransum di medan operasi di masa itu (Lihat tulisan Nikmatnya Martabak Keju di Medan Operasi ). Ia melirik pada rombongan pelatih yang sedang menyantap ransumnya. Ada Wawan, Dodi, Bar, Bais dst nya..ia sudah terlalu mengenal mereka..Betul betul gawat pikirnya.
“Guy..makan aja biarpun ga laper,” katanya memberi isyarat.
“Tadi udah makan roti sambil jalan, jadi belum kerasa laper,” jawab Iguy sambil merokok. Perempuan yang paling senior didalam rombongan pelatih ini memang perokok berat.
“Yung, tolong simpen nasi buat Iguy kalo begitu,” pesan bu danlat pada Ayung. Diam-diam Susy menghela nafas, ia dapat menerka apa yang terjadi selanjutnya. Apakah yang begitu dikhawatirkan Susy? Mari kita lihat.
“Acan wareg euy..” gumam Bar sambil menjilati jarinya. It’s finger lickn good. Nasinya sudah tandas, tentu saja.
“Naon atuh nya nu bisa digayem deui?” Bais juga sepaham.
“Asa nempo hiji deui nasi bungkus belah ditu,” bisik Wawan yang selalu waspada.
“Hayu kaditu..” pimpin Dodi. Mereka berempat beringsut bangkit mendekati area dapur. Ayung tiba-tiba insaf, apa yang dikhawatirkan oleh Susy.
“Guy..ini nasinya ambil aja,” bisiknya. Ia merasa solider pada Iguy yang juga sama-sama tatib
“Gak ah..gue mau tidur aja dulu,”Iguy tak bergeming. Lalu masuk ke tenda.
Ayung galau di area dapur… Segera saja para pelatih senior itu berdiri mengelilinginya dalam posisi istirahat pelatih. Dengan muka dingin, sedingin es…dan perut lapar.
“Mana tadi sesa nasi bungkus, Yung?,” sebuah nada berat membuka suara.
“Keun we nu embungeun mah,”
“Lebar mun teu didahar,”
“Mumpung haneut keneh,”
Ayung tak berkutik..Apa boleh buat, bukannya tak solider sesama Tatib namun ini diluar kendalinya. Sementara untuk minta payung hukum, DanTatib Tera berada jauh di flying camp. Ayung pun menyerahkan sisa nasi bungkus. Dalam hitungan detik, rombongan predator menggasak isinya ..chomp.chomp.. di dalam keheningan malam..chomp..chomp..mereka tak menyisakan apapun. Bahkan tulangnya sekalipun.
Tiba-tiba Iguy berubah pikiran, ia keluar tenda. “Mana ya nasi aku?” tanyanya culang cileung.
Wawan yang mulutnya penuh makanan menunjuk kedalam kegelapan. “Adha ahnjinggh..”ujarnya.
“Iyah kesanah anjingnyah..” sambil mengelap mulutnya Bais menunjuk ke arah bungkus nasi.
“Banyak anjing liar disini mah Guy,” yang lain membenarkan.
“Sudah tidur aja,..gapapa..nanti laparnya hilang,” sebuah simpati palsu.
“Yaahh….” Raut muka Iguy terlihat kecewa, apalagi perutnya mulai terasa lapar. Parasnya yang putih semakin pucat..Namun apa daya, tak ada remah yang tersisa. Angin dingin pun leluasa menusuk-nusuk tubuhnya yang mulai lemas. Ia menggigil masuk ke tenda namun tak bisa tidur nyenyak dalam kegelapan itu, dingin dan lapar selalu mengusiknya. Singkatnya, malam menerkamnya pelan-pelan. Semoga Iguy bertahan hingga esok pagi.
Bagi yang tak mengenalnya, cukuplah dikatakan dulu ada seorang perempuan tegar di Palawa bernama Iguy. Nama aslinya Ida Tiurma.