by Bayu Bharuna
Mari bayangkan saat kita mengendarai sebuah mobil. Tentu yang diutamakan adalah mencapai tujuan dengan selamat dan bila mampu sampai ke tujuan dengan lebih cepat maka akan lebih baik. Namun seraya mengemudikannya kita harus membawa SIM dan STNK, memperhatikan keselamatan diri sendiri dan penumpang, tidak membahayakan orang lain di jalan dan juga tak mencemari lingkungan dengan polusi dari kendaraan.
Lantas andai ada pengemis di jalan juga tak ada salahnya membagikan sedikit rizki yang kita punya, jangan cepat-cepat berlindung dibalik kaca jendela hitam anti pecah – bahkan kadang anti peluru. Saat mengemudikan kendaraan kita harus taat tak saja pada aturan namun juga etika berlalulintas. Tentu saja agar lalulintas secara keseluruhan berjalan tertib tak cukup hanya dengan mengandalkan kesadaran pengemudi, melainkan harus ada aturan yang ditegakkan oleh pemegang kewenangan.
Lihatlah sebuah perusahaan –untuk gampangnya- seperti mobil yang berseliweran dijalan, mulai dari yang rongsokan hingga keluaran tahun paling anyar yang hanya dibuat beberapa saja di dunia, semua tersedia disana. Ada mobil mewah yang perilaku mengemudinya seperti angkot, ada truk tentara yang selalu arogan, namun ada juga mobil yang menghormati pemakai sepeda dan pejalan kaki. Semua tergantung manusia yang mengemudikannya.
Perusahaan merupakan mekanisme ciptaan manusia seperti sebuah mobil yang bisa demikian hebat dan canggih, namun tetap tak memiliki hati seperti seorang manusia. Hati mereka tak akan lebih hanyalah laporan keuangan dan neraca-neraca tahunan. Bila diperlukan, untuk membuat laporan keuangannya lebih kinclong mereka tak akan segan mem-PHK ribuan tenaga kerjanya, memotong anggaran bina lingkungan atau samasekali tak mengindahkan dampak operasinya. Perusahaan-perusahaan seperti itu mungkin tak segera melanggar aturan, namun apakah mereka telah melakukan praktik bisnis yang etis?
Sejak tahun ‘70-an konsep corporate social responsibility sudah menjadi wacana dalam dunia industri. Walau ada ekonomi seperti Milton Friedman yang ngotot bahwa kewajiban perusahaan sudah terlaksana dengan beroperasi secara efisien, ide tesebut terus menggelinding bagai gagasan yang sudah saatnya. Dan semakin lama suaranya semakin nyaring seperti efek bola salju. Buku dari John Eklington Cannibals With Fork (1998) telah memberikan pengaruh yang besar bagi dunia industri untuk semakin memperthitungkan tanggungjawab mereka terhadap lingkungan. Wacana Corporate Social Responsibility (CSR) dengan tiga pilar pentingnya yaitu sustainable growth, enviromental protection dan social equity semakin populer. Eklington memfokuskan lingkup CSR menjadi tiga yaitu profit, planet dan people. Perusahaan sewajarnya tidak hanya mengejar keuntungan (profit) saja namun juga peduli akan kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).
Perusahaan korporasi yang beroperasi multinasional kini memiliki kekuatan ekonomi lebih besar dibandingkan sebuah negara. Tambahkanlah 200 negara dengan peringkat GDP terendah, maka masih lebih besar omzet yang dinikmati oleh perusahaan raksasa semacam Shell. Perusahaan-perusahaan raksasa bahkan dapat menghasilkan omzet lebih besar dari GDP sebuah negara maju sekalipun. Jadi bila pemerintah Indonesia merasa bangga dipinang masuk kedalam kelompok negara G-20 mestinya bisa dikritisi berapa yang disumbang oleh perusahaan-perusahaan raksasa itu. Sementara itu rakyat miskin di negara ini masih lebih banyak dibandingkan penduduk Malaysia ditambah Australia.
Perusahaan raksasa bahkan bisa berbicara mewakili sebuah negara dalam sebuah sidang resmi PBB. Dalam ajang World Summit on Suistainable Development di New York tahun 2001 misalnya, perusahaan Shell bicara panjang lebar mempromosikan yang telah disumbangkannya di Nigeria seolah peduli pada kemiskinan yang merebak di negara yang diwakilinya itu. Perusahaan tak peduli pada krisis yang menimpa suatu negara, seperti kala pemerintah AS berupaya menalangi perusahaan-perusahaan yang kolaps, beberapa eksekutif puncak perusahaan besar di negeri itu malah berbagi bonus yang nilainya fantastis.
Perusahaan-perusahaan yang beroperasi lintas negara juga tak terlalu peduli dengan sengketa antar negara yang terjadi karena operasinya demi menggenjot profit itu. Semoga anda masih ingat krisis Ambalat, pencemaran laut Timor atau ilegall logging sepanjang perbatasan Kalimantan. Sebagai gantinya perusahaan besar sering membelanjakan dana yang berlimpah untuk iklan-iklan yang membentuk citra mereka sebagai perusahaan yang berkomitmen pada lingkungan dan gencar mempromosikan program Coporate Social Responsibility (CSR) mereka dengan tujuan meningkatkan citra perusahaan.
Tentu tak dipungkiri bahwa beberapa perusahaan besar telah berkiprah dengan cukup antusias dalam mengembangkan program CSR nya. Misalnya PT KPC yang mendapat award tahun 2008 berupaya menghijaukan lahan bekas tambang batubara dengan pelestarian tanaman lokal. Menyadari ketergantungan masyarakat Kutai Timur terhadap sektor tambang, perusahaan juga memprakarsai program kemandirian ekonomi lokal dengan basis pertanian.
Di Indonesia ada peraturan menteri yang mengharuskan penyisihan laba bersih BUMN sebesar 2% untuk dapat digunakan untuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Peraturan lain yang menyangkut investor asing adalah UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dimana dalam pasal 15 (b) dinyatakan bahwa “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan.” Namun sejauh mana praktiknya di lapangan masih jauh panggang dari api, antara lain karena lemahnya komitmen dan belum ada audit standar.
CSR tak hanya perlu diterapkan hanya di perusahaan global dan nasional, namun juga hingga perusahaan lokal. Dari sebuah holding company hingga sebuah wirausaha memiliki tanggungjawab sosial terhadap lingkungannya. Bukankah diantara aset yang terkumpul itu selalu terselip hak orang fakir?
Pada akhirnya kita tak dapat menggantungkan harapan terlaksananya etika bisnis hanya kepada suasana hati pucuk pimpinan perusahaan. Dimanapun posisi kita dalam suatu perusahaan maka upaya sekecil apapun yang dapat diakukan dari dalam untuk mendorong le arah etika bisnis akan sangat membantu kehidupan ke arah yang lebih baik. (2010)