Suatu siang berkumpul di sekretariat beberapa orang yang mabal kuliah tapi ada juga yang memang tak ada kuliah. Ngobrol ngaler ngidul menahan lapar menepis kantuk. Lalu untuk mengusir rasa bosan
“Kumaha mun urang gigitaran..” sebuah ide.
Yang lain setuju lalu keluar untuk mengambil posisi duduk-duduk di koridor. Tera pun memainkan gitar, yang lain meramaikan. Ada yang bisa nyanyi, ada yang fals. Tapi biarlah yang penting sore jadi ceria.
“Request euy..”
“Naon”
“Balada anak yatim bisa?”
“Naha make teu bisa,”
Maklum yang sedang nyanyi-nyanyi antara lain Dodi, Tera, Sadikin, Ayung yang sudah tak ber bapak. Lagu ‘Ayah’ dari Rinto Harahap dimainkan.
Lagu pun mengalun. Terasa syahdu, seolah dihayati. Semua merindukan ayah yang sudah tiada. Namun baru setengah main..
Tiba-tiba pintu sekretariat terhentak membuka. Gorin panggilan akrab Rina Ch. Agustin yang sedang didalam keluar sambil sesenggukan. Lalu bergegas pergi meninggalkan sekretariat.
Burahay olohok alias melongo. Rokok yang sedang dihisap Dodi terjatuh, padahal belum dibayar. Cokot deui wae kitu..lebar, pikirnya.
Semua terhenyak saling pandang awalnya tak mengerti. Lalu tiba-tiba tersadar. Ada duka dan luka masih menganga dari saudaranya.
” Atuda maraneh nyanyi lagu eta..” cetus Bar.
” Enya poho…” ujar Akuy lirih
Beberapa Minggu lalu, Rina dengan murung mengisahkan ayahnya yang harus operasi. Hasilnya tak terlalu menggembirakan. Ia masih menunggu keajaiban, sangat berharap beliau kembali pulih. Namun…
Semua tiba-tiba merasa bersalah. Sore tak lagi terasa ceria malah seperti mendung yang menggelayut. Bahkan tawaran Abul untuk nganjuk kueh pun tak digubris.
‘Naha sinarieun biasana rewog.. pikir Abul garuk-garuk kepala gagal paham.
Alih-alih meneruskan gigitaran, masing-masing mengisap rokoknya dalam-dalam, menerawang kosong. Lalu seperti Rina, masing-masing terbersit sosok ayah.
Rabbighfirlii wa li waalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa.