Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang,
tapi tidak cukup untuk satu orang serakah (Mahatma Gandhi)
Perusahaan korporat merupakan yang paling bertanggungjawab dalam mengobok-obok kondisi setiap negara berkembang. Perusahaan-perusahaan korporasi yang beroperasi multinasional bahkan memiliki kekuatan lebih besar dibandingkan sebuah negara. Mereka bisa menyebabkan situasi memanas bahkan perang diantara dua negara karena perebutan kepentingan bisnis dengan perusahaan saingannya. Lihatlah apa yang terjadi akibat persaingan bisnis antara Chevron dan Shell di perairan Ambalat yang membuat suasana panas Indonesia dengan saudara serumpunnya Malaysia.
Kekuasaan korporasi
Saking berkuasanya, perusahaan-perusahaan raksasa seperti Shell bisa berbicara mewakili sebuah negara dalam sebuah sidang resmi PBB, seperti dalam World Summit on Suistainable Development di New York tahun 2001. Shell bicara panjang lebar mempromosikan yang telah disumbangkannya seolah ia peduli pada kemiskinan yang merebak di Nigeria, negara yang diwakilinya. Sementara para pemimpin adat Ogoni yang menentang penghancuran hutan oleh perusahaan minyak itu digantung oleh rezim yang berkuasa di Nigeria. Watak korporasi di manapun tak pernah berubah, sama seperti VOC dulu yang menjajah dan memeras kekayaan bumi nusantara.
Di Papua misalnya, PT. Freeport Mc Moran menguasai deposit emas terbesar di dunia dan deposit tembaga terbesar ke tiga di dunia. Pada tahun 2005 setidaknya 1,6 miliar pon tembaga dan 3,4 juta ons emas digerus dan disalurkan dengan pipa raksasa sejauh 100 kilometer ke Laut Arafuru dimana kapal-kapal besar menunggu. Sementara itu suku Kamoro yang tanah adatnya menampung tailing (limbah penambangan) PT Freeport sebanyak 223.000 ton per hari menjadi kehilangan sumber daya alam karena sungai, daratan dan laut yang tercemar. Kebun-kebun sagu di wilayah Ayuka dan Koperaporka menjadi binasa. Ketika mencoba mengais-ngais tailing untuk menemukan sisa emas di Mil 72-74 mereka malah diberondong oleh peluru aparat.
Sejak dahulu korporasi selalu menanamkan pengaruhnya terhadap pemerintah yang berkuasa, bahkan menurut Mussolini korporatisme sangat mirip dengan fasisme karena ia merupakan gabungan antara kekuatan negara dan korporat. Maka rezim yang berkuasa tak akan segan-segan mengerahkan tangan militernya untuk membungkam para penentang kepentingan korporasi. Bahkan bila itu harus membunuhi anak-anak bangsanya sendiri.
Program CSR
Masyarakat mungkin tak menyadarinya karena kini korporasi menggelontorkan dana yang berlimpah untuk iklan-iklan yang membentuk citra mereka sebagai perusahaan yan berkomitmen pada lingkungan. Mereka menampilkan iklan-iklan yang menggambarkan hutan yang lebat, pegunungan hijau, sungai kernih atau penanaman benih pohon. Perusahaan-perusahaan besar gencar mempromosikan program Coporate Social Responsibility (CSR) mereka yang lebih merupakan agenda kehumasan yang bertujuan meningkatkan citra perusahaan. Sebaliknya yang banyak terjadi adalah lobby-lobby korporasi kepada pemerintah untuk membabat hutan lindung agar dapat lebih jauh mengoperasikan mesin-mesinnya.
Saya geli membaca iklan Riaupulp yangmenyebutkan..”dari lubuk hati kami yang paling dalam dst..” Sejak kapan benda-benda mati seperti perusahaan memiliki hati. Perusahaan sama seperti ciptaan manusia lainnya hanyalah mekanisme yang tak akan pernah memiliki hati seperti manusia. Hati yang dimaksud perusahan-perusahaan itu tak akan lebih hanyalah laporan keuangan dan neraca-neraca tahunan. Bila diperlukan untuk membuat laporan keuangannya lebih kinclong mereka tak akan segan segera mem-PHK ribuan tenaga kerjanya.
Bersikap proaktif
Sebagian dari kita merasa sangat berterimakasih pada “kebaikan” korporasi yang telah memberikan penghidupan yang layak untuk menaiki tangga sosial di kota-kota besar. Beberapa anjuran dari sayap enviromentalis radikal adalah jangan bekerja untuk kekuasaan korporat. Namun tentu saja anda masih harus memikirkan periuk nasi dan biaya pendidikan anak-anak.
Jadi setidaknya bersikaplah proaktif pada upaya yang mendukung keberlangsungan lingkungan yang lestari. Perusahaan-perusahaan memang tidak punya hati, maka untuk itulah anda berada di dalamnya. Selain tekanan-tekanan dari luar korporasi yang dilakukan oleh para pecinta lingkungan, perubahan yang dapat anda lakukan dari dalam akan sangat membantu harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Saya jadi teringat sebuah proposal yang diajukan ke satu perusahaan multinasional untuk mensponsori kegiatan petualangan kami. Pipi saya menjadi sedikit merah merona. Tiba-tiba saja saya merasa akan lebih lega bila mereka menolak proposal itu.