Kabar tentang bencana banjir bandang di kabupaten Garut kami dengar ketika kongkow di sebuah warung di wilayah Perkebunan Teh Sukawana, Parongpong, Lembang saat usai melakukan aktifitas trail running ke tower Tangkuban Parahu.
Awalnya kami dengar dari celetukan Bobby kalau di wilayah Garut terkena banjir bandang yang dahsyat. Berita yang tersiar melalui sosial media yang muncul dari smartphone milik rekan Bobby itu akhirnya jadi topik perbincangan hangat antara kami, ibu pemilik warung dan seorang bapak yang bekerja di pabrik teh.
Si bapak ini bercerita kalau beberapa tahun yang lalu banjir bandang pun pernah terjadi di wilayah Cisuren (masih dekat dengan Sukawana). Hal itu terjadi akibat pembabatan hutan secara liar di wilayah tersebut. Pembabatan hutan yang luas ini mengakibatkan tidak adanya resapan air saat debit air sungai sekitar meninggi akibat hujan deras di wilayah hulu.
“Kenapa pembabatan hutan bisa terjadi pak? kan wilayah ini milik Perhutani…” selidik saya…”Ah di sini semua bisa terjadi pak, ada saja cara orang untuk menjual pohon-pohon di hutan untuk ditebang, misalnya dengan mengaku kalau dia cucu pemilik lahan dengan melampirkan surat-surat yang terkesan legal, walaupun saya yakin surat-surat itu bisa saja dibuat tanpa legalitas” Ujar si bapak.
Sebegitu mudahnya seseorang mengaku lahan publik sebagai milik pribadi di negara kita ini dan sebegitu mudahnya instansi terkait mengeluarkan legalitas aspal sehingga seseorang merasa menguasai sebuah wilayah untuk selanjutnya dijual kepada pihak lain tanpa memikirkan dampak negatif yang bisa muncul menghantam masyarakat sekitar dan itu mungkin saja yang terjadi pada bencana banjir bandang di Garut dan wilayah lain selama ini.
“Ngaku-ngaku cucu pemilik lahan hutan publik, emang dia cucunya Sangkuriang?” celetuk Bobby di akhir perbincangan.