Bandung dari waktu ke waktu terus tumbuh dan berkembang. Sebagai sebuah kota yang dibangun Belanda, Bandung dirancang sebagai sebuah tempat yang menyenangkan untuk hidup, bekerja, dan berkreasi dalam membangun jejak-jejak peradaban sebuah kota.
Bandung bisa diibaratkan juga sebagai sebuah rumah (home) yang membuat betah dan nyaman penghuninya. Home itu dibangun dengan hati. Bagaimana dengan Bandung saat ini? Rasanya sulit untuk mengingkari bahwa kenyamanan hidup telah menjadi barang yang langka di Bandung.
Saat ini Bandung tumbuh dan berkembang tetapi dengan kondisi kota yang makin renta. Lebih parahnya lagi, jiwa Bandung sebagai sebuah kota yang indah dan nyaman, telah lenyap. Jiwa Bandung sudah kerontang. Bandung kini hanyalah sekedar rumah (house) yang wujud fisiknya terlihat bagus, namun pancaran auranya sudah semakin meredup.
House itu dibangun dengan tangan. Tidak ada ikatan emosi mendalam ketika sebuah house diciptakan dan dibangun.
Mengamati wajah Bandung saat ini tak bisa dipungkiri ada suatu perasaan campur aduk dalam hati. Bangga ketika melihat perkembangan Bandung saat ini dengan begitu gencarnya pembangunan kota.
Di setiap sudut kota banyak berdiri pusat-pusat perbelanjaan, hotel-hotel, apartemen, pusat perdagangan dan pertokoan maupun perkantoran. Mungkin esok lusa ada bangunan tinggi yang mencakar langit Bandung.
Perasaan lain yang muncul adalah cemas dan gemas ketika menyadari bahwa dampak dari permbangunan kota yang cenderung mengomersialisasikan kota telah melahirkan krisis perkotaan yang semakin meningkat skalanya.
Contohnya, seperti kemacetan lalu lintas, banjir saat musim hujan tiba, kurang air saat musim kemarau, sampah yang berceceran di sembarang tempat, pengangguran, kemiskinan, kejahatan dan sebagainya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pembangunan perkotaan yang terjadi di Indonesia saat ini, temasuk Bandung, sangat didikte oleh para pemilik modal. Bandung, oleh para pemilik modal, hanya dianggap sebuah sosok tubuh yang perlu didandani untuk menarik banyak orang.
Sering berselingkuh
Orientasi ekonomi para pemilik modal dengan meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dan secepat mungkin telah melahirkan Bandung yang profitopolis atau sebuah kota yang berorientasi menghasilkan keuntungan. Sebenarnya Pemkot Bandung sendiri sudah cukup tanggap dan sadar dalam hal merumuskan visi, misi dan strategi pengelolaan pembangunan perkotaan.
Berbagai rencana dibuat berikut aturan-aturannya. Sayangnya, semua itu menjadi sia-sia belaka ketika penerapannya tidak dijalankan sungguh-sungguh. Pemerintah seringkali berselingkuh dengan para pengusaha. Sebagai akibatnya, arah pembangunan kota cenderung mengikuti rencana-rencana bisnis para pengusaha. Bandung saat ini dibangun atas dasar pertimbangan untung rugi semata.Sementara itu aktor pembangunan kota lainnya, yaitu masyarakat Bandung sendiri, seakan tidak berdaya menghadapi sepak terjang pengusaha dan pemerintah.
Padahal mestinya untuk membangun sebuah kota yang humanopolis (manusiawi), seluruh aktor pembangunan kota harus bersama-sama saling berangkulan satu sama lain. Pemkot Bandung harus mampu menjadi pengayom warganya dengan sikap yang lebih melayani, mengakomodasi dan memfasilitasi setiap aspirasi dan persepsi warganya.
Dengan demikian diharapkan semua warga kota atau pemangku kepentingan lainnya semakin tergerak untuk berperan serta secara aktif dalam membangun kotanya. Modal untuk membangun Bandung menjadi humanopolis antara lain adalah pemenuhan kebutuhan dasar hidup. Warga Bandung sebenarnya tidak membutuhkan sebuah kota yang hanya cantik dari penampilan fisik semata.
Bandung perlu dibangun bagi peningkatan kualitas hidup warganya, yaitu sebuah kota yang sanggup memenuhi kebutuhan fisik dan fisiologis warganya. Pemukiman yang sehat dan murah, sarana transportasi yang terjangkau dan nyaman, infrastruktur kota yang memadai, ruang terbuka hijau kota, sarana kesehatan, pendidikan, tempat rekreasi dan tempat olah raga adalah hal-hal mendasar yang dibutuhkan oleh warga kota.
Modal lain yang dibutuhkan warga Bandung adalah rasa aman. Bukan hanya aman dari tindak kejahatan, tetapi aman dari segala hal yang mengancam kehidupannya. Masalah pencemaran lingkungan adalah salah satu hal yang seringkali diabaikan para pengelola kota. Coba siapa yang mau tinggal di sebuah pemukiman yang sumber air dan udaranya tercemar oleh limbah industri ?
(Firkan Maulana, antropolog dan perencana wilayah/kota, tinggal di Bandung, tulisan ini pernah dimuat di KOMPAS, Forum Jabar, 6 Maret 2006)