Dibalik Kisah Pendakian Gunung

31156_117934531563847_1339889_nby Dodi Rokhdian

Agustus 2009. Minggu ini saya bersedih, satu lagi pendaki gunung meninggal di Gunung Semeru, bersedih untuk satu jiwa yang hilang, bersedih untuk membayangkan betapa sedihnya keluarga korban. Kelurga di rumah pantas bersedih hati dan larut menyesali pilihan hobby almarhumah, karena mereka sebenarnya berharap banyak bahwa kelak ia akan lulus menjadi sarjana dan kemudian bekerja lalu seperti harapan ortu umumnya kepada anak : ia akan sukses dan menjadi orang berguna . Pupus sudah harapan itu oleh satu soal yang kadang irrasional di mata awam, yakni tentang sebuah kecanduan, kecanduan berakrab-akrab dengan alam, bahasa sederhananya hobby naek gunung.

“don’t stop me to climb” begitu bunyi kaos yang dulu dikenakan bonk saat era 1990-an. Apa artinya? Ditujukan pada siapa kalimat itu? Saya wakili saja jawabannya dengan asumsi iseng : bonk sedang mengultimatum seseorang untuk tidak melarangnya manjat tebing. Atau bonk sedang bilang bahwa to climb adalah segalanya, jadi apapun tak boleh menghalanginya untuk manjat. Sebuah ego yang patut diperdebatkan sekaligus juga dimengerti oleh kita ‘ tentang rasa yang aneh’ yang seolah sering memanggil kita dikesendirian : suaranya mengkalbu, mengajak dengan halus, dan kita dihipnotis untuk kembali, kembali berada di tempat sana : gunung dan segala kebijaksanaanya.

Sampai kembali terulang, pendaki gunung asal kelompok pecinta alam fisipol UGM ‘setrayana’ yang sedang merangkai masa depan di usia mudanya meninggal dunia di Gunung Semeru.

Hobby ini sering makan korban,kesenangan ini menimbulkan kesedihan buat orang yang ditinggalkan korban, namun kecanduan ini menimbulkan kegembiraan,kepuasan,bahkan kebahagiaan (sambil nangis …hikss). Saya memilih tetap mendaki gunung dengan penuh perhitungan, karena kesedihan tidak datang ketika kita sedang menjalani pendakian itu. Biarlah sedih menemukan sendiri kejadiannya,karena pendakian hanyalah salah satunya. Orang mati kena wabah, perang, bencana, penyakit, kecelakaan,pemboman teroris,keracunan,tawuran, dan banyak lagi karena memang kita fana ; tak abadi.

Namun tetap saja, hobby ini masuk kualifikasi high risk activity, resiko menjalaninya menimbulkan kekuatiran orang tercinta disekitar kita, dan menimbulkan pada kita (seharusnya) untuk tak main-main dengan kecanduan jenis ini, intinya saya ingin menyarankan safety first di setiap aktivitas ini.

“nanaonan ka gunung , bahaya, sok diijinkeun ku mamah kemping mah, sok di taman pramuka meh mamah tiasa ngalongok sareng ngirim nasi goreng ka kemahna, sebut wae naon regu na, banteng? Atawa regu kancil? Kitu weh kasep mamah mah”

Ini omongan imajiner seorang ibu dengan pengalaman seorang pendaki gunung di masa smp-nya,ibu seperti demikian, mungkin punya kesamaan dengan sebagian ibu-ibu kita di rumah, ia selalu kuatir meski tak pernah melarang bila ‘kita’ pergi di setiap ahir pekan untuk mendaki gunung. Masa lalu itu mungkin membuat kita tersenyum sendiri mengenangnya.

Satu lagi nyawa melayang di Semeru, satu lagi seorang ibu meratapi anaknya yang hilang, satu lagi kekuatiran, namun jiwa-jiwa yang hilang itu bukan mati, ia menjadi pinus yang meneduhi keagungan indah ranu kumbolo. Satu lagi nyawa menghilang di sebuah gunung, namun kita akan tetap mendakinya. Karena ada kegembiraan saat menjalaninya.

Selamat dan terus mendaki gunung, simpati dan bela sungkawa terdalam dari saya untuk keluarga almarhumah dan keluarga besar mahasiswa pecinta alam setrayana fisipol UGM.

….. Wake up boy, today is climb

Demikianlah

067 kawah putih
Cipulir, awal agustusan, saat angin mati, dan senyum seorang perempuan.