Oleh : Mirza Ahmad Hevicko
Juli 2000
Manusia selalu menyimpan keinginan purba untuk bisa mengalami keabadian meski kenyataannya justru kesadaran akan ketidakabadian itulah yang menjadi tanda penegas bagi kemanusiaan. Akhirnya kita harus menerima kenyataan yang pahit. Begitu juga angsana yang Idealnya sampai berumur ratusan tahun bahkan lebih, pohon bersejarah itu, akhirnya tumbang digerus mata chainsaw yang licik. Angsana yang pernah begitu kokoh merindangi Palawa itu rubuh. Tidak lama setelah itu segera disusul dengan event pembongkaran tiga lokal bangunan UKM –kadatuan Palawa ikut terbongkar. Angsana merana jadi korban mutilasi yang dilakukan oleh universitas padjadjaran. Batang-batangnya yang besar dan panjang dicincang, mungkin kemudian jadi kayu bakar.
Sejak itu seolah bumi digulung karena lanskap terasa dilipat-lipat. Konon, banyak inventaris perhimpunan yang hilang. Sahibul hikayat juga mengatakan bahwa banyak laporan kegiatan, majalah, buku, juga foto-foto yang rusak dan tercecer saat proses pemindahan terjadi, dan seperti biasanya: pemindahan selalu dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Terburu-buru seringnya menimbulkan orang lengah dan lupa; kurang konsentrasi dan kurang hirau. Sesekali terdengar lontaran dari anggota palawa yang mengidentifikasi dirinya sebagai “AGUS” alias anak gusuran saat itu. Banyak proverti yang di luar karena ruangan yang disiapkan oleh unpad sangatlah tidak wajar. Sungguh kurang ajar mereka. Palawa sebagai perhimpunan yang sering disebut salah satu keluarga besar di dalam universitas padjadjaran kini harus menerima keadaan sekretariat yang hanya seluas 2,5 m x 2,5 m. Sebuah pemaksaan telah dilakukan. Negosiasi membuat palawa mendapat (sepotong) ruang tambahan yang akhirnya digunakan sebagai ruang penyimpan alat-alat operasional –ruangan itu disebut ruang pansus.