Seorang Pecinta Alam Harusnya Aktivis Juga


Luthfi Rantaprasaja

“Petualangan secukupnya lingkungan hidup, konservasi alam & kemanusiaan selebihnya …”

Bila merujuk pada pengertian atau definisi secara umum, Pecinta Alam adalah seseorang atau kelompok orang yang aktivitasnya banyak dilakukan di alam bebas pada bidang petualangan, lingkungan hidup, konservasi alam dan juga kemanusiaan. Lebih jauh lagi, Pecinta Alam dalam persepsi masyarakat Indonesia merujuk pada perseorangan atau kelompok yang bergerak di bidang petualangan alam bebas seperti mendaki gunung, ekspedisi ke hutan belantara, panjat tebing, arung jeram, susur gua, penyelaman bawah laut, petualangan dengan perahu layar di samudra, mengarungi angkasa dengan pesawat sederhana dan lain sebagainya. Setidaknya demikianlah yang bisa kita baca dalam situs ensiklopedia bebas, wikipedia.

Anggap saja apa yang dituliskan tersebut di atas benar mewakili persepsi orang banyak mengenai apa dan siapa sih itu Pecinta Alam? Rasanya kalau kita mau jujur, pandangan tersebut tidak sepenuhnya bisa disalahkan. Penekanan yang berlebihan pada aspek kegiatan kepetualangan yang jauh melebihi dimensi kegiatan di bidang lain yang justru mestinya lebih koheren dengan etimologi kata Pecinta Alam itu sendiri.

Kalau sekiranya mau membuktikan, tidak perlu susah-susah. Coba cek apa yang ditampilkan pada situs web resmi organisasi-organisasi Pecinta Alam (Orpala, KPA, Sispala, Mapala) di negeri kita. Amati kode-kode semiotik seputar dunia kepecintaalaman yang tersirat dari simbol, gambar, bahasa & jargon yang ada. Apa yang tercermin di situ? Sebagian besar, kalo tidak seluruhnya, menampilkan dimensi petualangan yang kental, gambar-gambar perjalanan ke gunung salju atau tebing yang tinggi hingga pengarungan sungai seolah menjadi menu yang wajib ada. Take nothing but pictures ey? 😉

Kalau mau menggali lebih dalam lagi, ambil gawai, hubungi beberapa teman yang mengaku atau masih bergabung dengan organisasi kepecintalaman di sekolah atau kampusnya dulu. Budaya organisasi pecinta alam memang keanggotaannya berlaku seumur hidup. Ajak ngobrol tentang kegiatan di alam bebas yang mereka lakukan sejak dulu. Sebagian bahkan masih melakukannya hingga sekarang. Jangan menanyakan pertanyaan normatif tentang kepecintaalaman, dengarkan saja ceritanya. Penafsiran pada cerita pengalaman (experiential stories) itu bisa jadi tidak akan jauh dari apa yang termaknai di situs web tadi, sebagai salah satu artefak budaya, yakni citra pecinta alam sebagai petualang atau penjelajah atau pehobi kegiatan alam bebas.

Kesimpulan di atas bisa dipahami karena kegiatan di luar kegiatan kepetualangan memang tidak dominan dicitrakan Pecinta Alam. Walaupun sebenarnya tidak bisa dipungkiri bahwa banyak kegiatan terkait bidang lingkungan hidup, konservasi alam dan kemanusiaan dilakukan oleh para aktivis yang juga adalah Pecinta Alam. Bahkan pihak-pihak yang aktif dalam kegiatan advokasi lingkungan, pelestarian & perlindungan alam maupun kegiatan kemanusiaan terkait bencana misalnya, kebanyakan berlatar belakang Pecinta Alam. Lantas kenapa dimensi kegiatan-kegiatan ini tidak semenonjol kegiatan kepetualangan tadi sehingga dimensi itu oleh umum tidak serta merta diatribusi atau dilekatkan pada seorang Pecinta Alam? Apakah karena aktivisme non kepetualangan itu secara etis bukan jenis kegiatan yang bisa diekspos atau dipublikasikan secara gegap gempita? Ataukah karena ada pergeseran identitas atau jati diri sebagai seorang Pecinta Alam? Bagaimana dengan perhimpunan kita sendiri?

Petualang atau aktivis?

Mengenai pengertian petualang, sepertinya sudah secara gamblang terpaparkan di atas. Siapapun yang berkegiatan di alam bebas pastilah harus mengikuti kaidah petualangan. Itu kalau mau aman dalam melakukan kegiatan dan bisa kembali ke rumah dengan selamat. Materi wajib yang pertama sekali diajarkan di setiap pendidikan dasar kepecintaalaman adalah tentang bagaimana mengelola resiko (bahaya subyektif & obyektif) ketika memiliki rencana akan melakukan kegiatan di alam bebas. Apapun bentuk kegiatannya dan di manapun lokasi kegiatan itu akan dilakukan.

Petualang erat kaitannya pada aktivitas yang penuh ketidakpastian, mengandung resiko, menantang bahaya. Setelah mengetahui hal tersebut, Pecinta Alam kemudian dituntut untuk selalu membina diri mengolah kemampuan khusus yang dibutuhkan terkait kegiatan yang dilakukan di alam bebas tersebut. Serangkaian kegiatan operasional dari mulai latihan fisik untuk mencapai tingkat kebugaran tertentu hingga materi kelas, praktek lapangan & simulasi perjalanan menjadi kegiatan yang penting & diprioritaskan untuk memastikan kompetensi yang dibutuhkan. Sanking substansialnya, maka kebanyakan desain organisasi Pecinta Alam dari mulai struktur organisasi, rencana strategis, program kerja dan lain sebagainya berkutat seputar kegiatan ini.

Lantas, bagaimana dengan dimensi kegiatan Pecinta Alam lainnya yang lebih lekat pada aspek aktivisme lingkungan, konservasi & kemanusiaan? Apa itu aktivis atau aktivisme? Secara umum, dalam kbbi aktivis diterangkan sebagai orang yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya. Sementara secara khusus, aktivis adalah orang yang mengambil tindakan aktif untuk memperjuangkan sesuatu yang diyakini dapat membawa perubahan, biasanya sosial atau politik. Adapun aktivisme atau kegiatan aktivis adalah upaya yang dimaksudkan untuk mengemukakan masalah perubahan yang terkait masyarakat, kuasa pemerintahan, tatanan masyarakat, atau lingkungan. Upaya yang dilakukan dapat berupa kegiatan langsung maupun tidak langsung, secara institusional atau melalui saluran lembaga sosial yang ada dalam masyarakat maupun secara non institusional, selama ditujukan untuk mengusung isu-isu perubahan.

Sejatinya kegiatan Pecinta Alam di alam bebas senantiasa berkelindan dengan hal-hal ini. Ketika memutuskan untuk mengeksplorasi suatu medan petualangan, dalam konteks untuk memitigasi resiko obyektif, Pecinta Alam dituntut untuk mengetahui apapun terkait situasi & kondisi lingkungan alam & kemanusiaan yang ada di situ. Sebagai contoh ketika akan melakukan perjalanan pendakian gunung dalam rangka pengembaraan atau perjalanan biasa. Seorang Pecinta Alam tentu mengumpulkan gambaran utuh tentang objek gunung yang akan didaki dengan segala aspek yang terkait untuk memetakan resiko. Ketika ada info rusaknya jalur pendakian karena longsor misalnya, sejatinya harus mencari tahu ada apa dibalik itu. Apakah itu terjadi karena sebab-sebab alami semata atau karena ada alasan lain. Ketika ternyata diketahui ada unsur manusia yang berpotensi dan atau telah menyebabkan kerusakan alam tersebut apakah Pecinta Alam, dengan kemampuan teknis operasionalnya, hanya akan membuka jalur pendakian alternatif demi tujuan kegiatannya tercapai atau akankah ia bertindak lebih jauh dengan mengangkat isu tersebut dan mengupayakan aktivitas yang bertujuan setidaknya membantu ke arah perbaikan situasi. Mampukah Pecinta Alam bertindak seperti itu ketika kompetensi sebagai seorang aktivis luput atau tidak menjadi sesuatu yang dibina dalam organisasi.

Kalau ukurannya kepedulian, seorang Pecinta Alam pasti sangat peduli dengan hal-hal seperti ini. Tapi ketika ia tidak bertindak atau bahkan dengan (tanpa) sengaja berjarak dengan isu-isu yang mengemuka di saat melakukan kegiatan. Masih pantaskah menyandang nama Pecinta Alam? Alih alih mencintai alam, kegiatannya jadi lebih bernuansa menikmati alam demi heroisme ataupun romantika semata. Apa bedanya dengan para penggiat outdoor individual nir organisasi yang di jaman digital ini semakin menjamur karena didorong mudahnya akses informasi, fasilitas serta dukungan para operator petualangan yang bermotif ekonomi.

Pada kesempatan ini, saya mendorong agar supaya Pecinta Alam kembali pada jati dirinya yang sebenarnya. Hasrat dan kemampuannya dalam bertualang di alam bebas, semestinya menjadi kekuatan utama terkait perannya untuk mengangkat dan memperjuangkan isu-isu lingkungan hidup, konservasi alam dan kemanusiaan. Sebaiknya, jangan hanya berhenti menjadi petualang sahaja namun berproseslah pula menjadi aktivis-aktivis yang memperjuangkan dan membina lingkungan sebagai wujud cinta kepada alam. Tidak ada yang salah dengan hasrat kepetualangan yang militan, karena itu adalah salah satu kekuatan seorang Pecinta Alam tapi ingatlah bahwa kita masih memiliki dimensi kekuatan lain.

Apalagi di masa pandemi yang belum tahu kapan akan berakhir ini. Pecinta Alam justru harus bisa mengambil peran lebih dan sebenarnya banyak alternatif kegiatan yang bisa dilakukan. Sebagai contoh misalnya dengan terlibat dalam kegiatan kemanusiaan terkait penanganan pandemi di lingkungan sekitar, membuat serangkaian kampanye yang mengangkat isu perubahan prilaku, mendorong dan menggugah pentingnya urban farming pada masyarakat perkotaan untuk ketahanan dan lain sebagainya, tentu harus bisa dilakukan dengan cara unik khas Pecinta Alam!

Bagaimana dengan PMPA Palawa Unpad?

Dengan membaca uraian di atas, sebenarnya kita sudah bisa melakukan kajian ke dalam organisasi kita sendiri. Mungkin pandangan saya ini bagi sebagian saudaraku di Palawa Unpad terlihat aneh, namun betapapun anehnya itu juga cobalah tetap berpikiran terbuka agar memudahkan untuk melihat ke dalam. Sekali-sekali mari bertindak sebagai insider-outsider, walaupun tidak mudah. Seperti kata antropolog Ralph Linton, a fish will be the last person to see water.

Kita lihat ke belakang dari sejarah pendirian organisasi ini, diskursus terkait bentuk organisasi yang seperti bagaimana yang akan didirikan sepertinya memenuhi ruang diskusi kala itu. Dari mulai rencana mendirikan klub pendaki rock climbing yang sangat sempit cakupannya … melulu outdoor… petualangan… khusus panjat tebing lagi… hingga klub pecinta alam yang lebih luas cakupan kegiatannya dan ada unsur ilmiah karena berangkat dari kampus sekaliber Unpad.

Para pendiri dari angkatan Pagar Wangi yang masih ada saat ini barangkali bisa lebih banyak menguraikan suasana kebatinan saat itu. Tapi saya yakin, walaupun dalam catatan atau cerita-cerita sejarah pendirian kebanyakan para pendiri masih belum punya gambaran jelas akan seperti bagaimana bentuk organisasi ini nanti. Tapi semangatnya sudah dipastikan adalah akan mendirikan organisasi berbasis kampus yang beyond outdoor activity… lebih dari sekedar petualangan. Terutama juga karena masukan-masukan dari para pembina yang saat itu sudah memiliki pengalaman dan bahkan pendidikan alam bebas yang mumpuni.

Demikianlah hingga muncul pedoman dasar organisasi yang menjadi semacam mantra yang selalu digaungkan dari generasi ke generasi, yakni : bina diri, bina organisasi dan bina lingkungan. Ketiga hal ini bisa dibilang adalah core values atau prinsip/nilai utama Palawa yang disistemasi /dijalankan dan menjadi jiwa organisasi. Sementara pengejawantahan dari prinsip tersebut dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan organisasi yang menjadi ritual setiap periode kepengurusan. Juga dalam sistem keanggotaan (AM, AB, ALB) yang menjadi dasar struktur dan pola hubungan sosial antar anggota di dalam organisasi. Hey, kita sudah bicara budaya organisasi Palawa Unpad nih! Take notes angkatan Yodha Anantara adikku, ini cara kalian berenkulturasi. Thank me later 😋

Kembali ke laptop. Nah, dari pengalaman pribadi ketika aktif di organisasi Palawa baik sebagai anggota muda ex siswa Diklatdas maupun ketika berproses menjadi anggota biasa dan menjadi pengurus organisasi hingga lulus berstatus alumni dan menjadi anggota luar biasa… sejatinya tidak banyak yang berubah di Palawa. Kultur yang tertanam melalui sistem dan struktur dalam organisasi melekat demikian erat dan bahkan saya kira nyaris statis, alih-alih dinamis dan cenderung rigid dalam mensikapi perubahan yang terjadi. Saya sempat terkejut, literally shocked, ketika datang melihat pelaksanaan Diklatdas di era millenial… pola pendidikan ala generasi 80-90an yang keras, semi militer ternyata masih fasih digunakan tanpa tedeng aling-aling. Saya pikir tataran nilai masyarakat era sekarang sudah jauh berbeda dengan beberapa era sebelumnya, sehingga agak aneh ketika masih ada hal-hal yang seolah luput beradaptasi dengan tuntutan jaman. Padahal saat ini sudah banyak alternatif cara mendidik atau penanaman nilai yang bisa dilakukan untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang sama.

Fenomena di atas, suka atau suka terjadi karena kuatnya penanaman isme atau paham kepetualangan yang serba heroik, romantis dan seolah hanya dengan itu militansi bisa dibangun. Padahal kalau kembali pada jati diri Pecinta Alam, taruhlah sebagaimana yang tertuang dalam Kode Etik Pecinta Alam Indonesia yang disepakati di Forum Gladian IV di Ujung Pandang tahun 1974. Paham kepecintaalaman yang tersirat dan tersurat di situ cukup holistik & komprehensif karena mencakup berbagai dimensi kecintaan kepada lingkungan alam & kemanusiaan. Tidak akan kurang heroik dan militan misalnya bila pola-pola pembinaan dan pengembangan Pecinta Alam tidak semata menggunakan metoda yang keras & semi militer. Berkaca & belajar pada keteraturan, kedisiplinan dan kesigapan ala militer tentu ada baiknya tapi mengimplementasi cara-cara militeristik hanya karena cara itu yang kita tahu paling cocok pada isme kepetualangan buat saya itu koppig dan sangat tidak ilmiah sama sekali.

Karenanya, ketika ritual kegiatan Diklatdas tahun ini dipaksa mengalami sebuah perubahan yang radikal karena tuntutan situasi pandemi. Buat saya itu blessing in disguise. Sudah lama saya berpandangan dan menyampaikan dari Lokakarya Diklatdas yang satu ke yang lainnya, bahwa Palawa harus bisa dan mau berubah dan menyesuaikan diri agar organisasi ini lebih optimal dalam menyongsong jaman. Dewan Pengurus yang aktiflah yang paling tahu dan paling berwenang menjalankan roda organisasi harusnya mampu membuat terobosan kegiatan yang lebih sesuai dengan kondisi kekinian. Jangan terpaku dengan cara-cara lama, harus lebih kreatif lagi. Walaupun biasanya tetap ritual Diklatdas berjalan sebagaimana pola yang sudah baku. Namun dengan situasi pandemi seperti sekarang baru Palawa secara organisasi bisa merancang terobosan pola kegiatan yang berbeda dengan sebelumnya.

Barangkali saat ini, dipaksa oleh situasi prihatin karena pandemi yang belum juga berlalu, adalah kesempatan Palawa untuk kembali ke jati diri sebagai organisasi Pecinta Alam yang sebenarnya. Saat ini mungkin waktunya untuk mengeksplorasi dimensi kepecintaalaman yang jarang tersentuh, seperti aktivisme dalam aspek lingkungan hidup, konservasi alam dan kemanusiaan. Besar harapan saya, Dewan Pengurus yang sekarang sudah memiliki visi yang kuat tentang bagaimana membentuk profil adik-adik angkatan baru ini nanti sehingga bisa dipikirkan implementasi kegiatan-kegiatannya yang tepat, terkait tantangan organisasi di masa kini dan akan datang. Kompetensi teknis kepetualangan tetap dibina menjadi fondasi khas yang membedakan kita dengan organisasi lainnya, namun jiwa aktivisme perlu juga dikembangkan agar peran sebagai Pecinta Alam bisa lebih optimal. Demikian.

PLW078KP