Mulai sering nangkring di kampus Dipatiukur tahun 1992 an, pemandangan tetap yang membuat nanar didepan kampus adalah dinding seng yang memanjang dari proyek pembangunan Monju. Area pembangunan ini dikenal sebagai kawasan kost dan pemukiman padat Haur Pancuh dan Haur Mekar. Haur adalah bahasa Sunda untuk bambu sehingga bisa dibayangkan dulu sekali kawasan ini merupakan hutan bambu.
Monju alias Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat ini adalah monumen sejarah yang dibangun untuk mengenang masa perjuangan rakyat Jawa Barat saat melawan Belanda.
Monju mulai dibangun pada 1 Juni 1991 sehingga bagi beberapa orang proyek ini jadi pemandangan sehari-hari sejak diterima kuliah hingga lulusnya. Pembangunan monumen membutuhkan waktu sekitar 4 tahun dan diresmikan pada 23 Agustus 1995 oleh Gubernur Jawa Barat pada waktu itu, R. Nuriana.
Rata-rata listingan angkatan KP masuk kuliah tahun 1991 tapi ada juga yang masuk tahun 1990, 1989. Pelantikan di Ranca Upas dibulan Februari tahun 1992 dan baru semester berikutnya benar-benar mulai “menduduki” kampus. Sebelumnya hanya hit and run saja.

Barulah setelah lama di kampus mulai mengamati bentuk Monju ini, terutama setelah seng – sengnya dibuka. Pada bagian atas, menjulang tinggi tugu – tugu melambangkan bambu yang merupakan simbol kedekatan masyarakat Jawa Barat dengan pohon itu.
Misalnya dimasa lampau, wanita yang melahirkan akan diputus ari-ari nya menggunakan hinis, sebuah alat pemotong dari bahan bambu. Selain itu, anak laki-laki yang disunat akan dipotong menggunakan hinis. Bambu juga menjadi alat perang yang digunakan rakyat Indonesia dalam melawan para penjajah yaitu bambu runcing.
Namun ada yang nyelutuk,
“Bisa oge keur menangkal kolor ijo”.
Eh tapi benar juga, konon jenis bambu kuning katanya merupakan penangkal ilmu hitam kolor ijo. Perapal ilmu hitam ini saat menjalankan aksinya selalu mengenakan celana kolor yang berwarna hijau. Bisa dipastikan kolor ijo tak kan bisa berkutik disini.
Para kuncen di kampus Dipatiukur yang sedang ngalong mengenal area Monju sebagai tempat warung-warung pengobat rasa lapar bila malam sudah terlalu larut. Ini karena jalan Hasanudin dan Teuku Umar gelap dan senyap bila malam. Ada sih warung Bu Tunduh didepan klinik UNPAD yang nyaris selalu buka, tapi kan kurang elok buat melanjutkan nongkrong.
Itu kalo survival malam, kalo masih siang atau bahkan pagi dan lapar tak tertahankan, sementara tukang kueh keliling tak kelihatan jirimnya “terpaksa” melipir ke Uloh (MR) anak Fisip yang rumahnya di Haur Pancuh hehe..