Ada Romantisme di Lari Marathon Jatinangor-DU

Ide dari Bobby untuk trail run dari Jatinangor menuju ke Dago, mendapat sambutan dari beberapa penggiat lari. Maka pada hari Minggu, tanggal 18 Desember 2016 dari kampus Jatinangor  langkah-langkah lari pun dimulai. Sebagian merasa kurang yakin, namun tak mengurangi tekad untuk berlari.

Lewat belakang kampus, rute kebun mengawali perjalanan jauh menuju Kiarapayung-Barubeureum-melipir ke utara Manglayang –Palintang-kebun kina-bukit Moko-tebing Keraton –tahura –Dago-Dipati Ukur. Jarak keseluruhan ternyata tak sampai 42 kilometer, hanya 40 kilometer namun trek ini sangat menjanjikan untuk dijadikan Marathon bila suatu hari akan ada event serupa. Saya bahkan tak mengikutinya hingga akhir, hanya setengah dari  jarak.

Sebuah  romantisme berkelebat dibenak saya kala berlari terengah-engah sepanjang trek hutan pinus. Dulu sekali, kami terobsesi menyambungkan jalur Dipati Ukur – Jatinangor kedalam sebuah trek petualangan yang akan mengantarkan para pesertanya menuju gerbang petualangan maha luas. Tahun 1994, longmarch menuju Jatinangor dimulai walau tak ada kepastian kapan ruang kuliah pindah kesana.  Memori yang  kusut ini sedikit-sedikit terurai kembali, ada banyak romantisme sepanjang jalur hutan disini.

“Saya belum lahir waktu itu,” ujar Yandi Romadona, seorang peserta lari.

Saya tercenung, betapa telah lama waktu itu berlalu. Generasi telah berganti datang dan pergi  dan betapa  kami tetap attached  pada ide itu. Ada sesuatu yang membuat saya tak dapat melupakan ide itu, dan juga beberapa rekan lain. Ide bahwa jalur itu akan membawa mereka yang menapakinya ke gerbang petualangan yang maha luas dan bumbu persaudaraan  yang  menyelimutinya, terlalu melekat untuk tersapu dari ingatan.