Courage, above all things. is the first quality of a warrior (Carl von Clausewitz)
Dipati Ukur adalah seorang wedana yang telah memimpin sebuah pasukan besar untuk menyerang Belanda di Batavia (1628) atas perintah Mataram, tetapi tidak berhasil, bahkan justru menimbulkan konflik di dalam.
Ketika Pangeran Dipati Rangga Gede menerima sanksi politis dari Sultan Agung dan ditahan di Mataram, jabatan Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni. Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu mengalami kegagalan.
Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa Kerajaan Mataram.
Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di daerah itu sangat lemah. Setelah “pemberontakan” Dipati Ukur dianggap berakhir, Sultan Agung menyerahkan kembali jabatan Bupati Wedana Priangan kepada Pangeran Dipati Rangga Gede yang telah bebas dari hukumannya.
Dipati Ukur harus berhadapan langsung dengan Mataram sendiri yang telah terprovokasi Tumenggung Bahureksa atau Narapaksa. Justru perang melawan Mataram inilah yang menjadi pusaran konflik yang telah menyita tenaga dan pikirannya. Bahkan, pimpinan Sunda lain, yakni Wirawangsa, Samahita Astramanggala, Uyang, dan Sarana, yang diajak angkat senjata, menikam dari belakang dan melaporkan niat pemberontakan Dipati Ukur kepada sultan Mataram.
Mataram merupakan kerajaan terbesar pada masa itu sehingga terlampau besar untuk dilawan. Gerilya yang dilakukan Dipati Ukur pada akhirnya dapat dilumpuhkan oleh Mataram. Perang gerilya yang diperagakan Dipati Ukur, dari Gunung Pongporang, Gunung Lumbung, hingga Bumbang, tidak berkutik melawan gurita kekuasaan Mataram yang masih kuat. Ada juga bantuan dari bupati-bupati Priangan yang ternyata tidak kalah sangarnya membantu Sultan Agung melalui tangan Tumenggung Bahureksa untuk menangkap Dipati Ukur. Akhirnya pemberontakan Dipati Ukur dapat dipadamkan. Menurut versi Mataram, Dipati Ukur tertangkap dan dihukum mati di Mataram. Menurut Sajarah Sumedang (babad), pemberontakan Dipati Ukur terhadap Mataram berakhir pada tahun awal tahun 1632.
Ada hal yang bisa dipetik dari kisah Dipati Ukur ini adalah keberanian dan sikap kritis Dipati Ukur melawan Belanda di Batavia atau Mataram. Memegang keteguhan prinsip yang dianggapnya benar, terlepas dari versi benar atau salah yang dilabelkan pada diri Dipati Ukur. Ia sosok yang kontroversial, namun tak ada yang membantah bahwa ia seorang pemberani.
Sumber Ekadjati, S. Edi. 1979. Cerita Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda Penelusuran Sejarah Pemerintah Kabupaten Bandung Tahun 1846 – 2010