by Bayu Ismayudi
Tebasan golok tebas Tramontina mengiringi setiap langkah kami, tangan Bobby sibuk menebas kiri kanan jalur yang ditumbuhi ilalang & belukar setinggi dua meteran lebih, membuka jalur bagi tiga rekan di belakangnya. Sementara saya yang berada di belakang Bobby dengan hanya memegang pisau komando ikut sedikit sibuk menebasi ilalang kecil sisa tebasan Bobby yang masih menghalangi.
Jalur dari Kiarapayung menuju arah Batukuda yang kami lalui ini memang sedikit berbeda. Berangkat dari sekitar wilayah Kiarapayung dengan diantar anggota Palawa Unpad , Cibeng & Fika mengendarai “Si Kotak Pandora”nya Armand, kami pun turun di sebuah warung .
Matahari saat itu sudah mulai merangkak naik menghangatkan bumi wilayah Timur kota Bandung. Setelah segelas kopi panas kami teguk, perjalanan pun dimulai dengan menyusuri jalanan koral yang menuju sebuah perkebunan atau semacam hutan lindung.
Tujuan kami kali ini adalah menemukan jalur titik temu menuju sebuah tonjolan bukit di kaki gunung Manglayang yang seminggu sebelumnya bukit itu sudah kami singgahi melalui jalur Batukuda, jalur yang berlawanan.
Setelah menemukan sebuah reservoir kami pun berbelok memasuki jalanan yang menanjak melewati perkebunan palawija, cuaca yang mendung cukup membantu kami di wilayah yang biasanya sangat panas ini apabila matahari bersinar terik. Tidak berselang lama setelah meniti jalur perkebunan palawija, kami mulai terhadang semak & ilalang tinggi sejenis rumput gajah setinggi dua meteran lebih. Barbar yang saat itu berada di depan dengan sigap mengeluarkan golok tebas dan mulai memapas ilalang yang menghadang.
Menebas di atas jalur yang semakin menanjak cukup menguras energy kami, apalagi disertai dengan orientasi medan agar jalur tidak melenceng. Beberapa kali Bobby memantau aplikasi View Rangernya untuk memastikan agar koordinat tidak melenceng dari tujuan.
Rehat beberapa kali kami lakukan bukan hanya untuk memulihkan stamina tapi juga untuk memastikan kalau jalur yang kami lalui ini benar. Penebasan pun dilakukan bergantian hingga memasuki medan yang mengharuskan kami berjalan jongkok.
“Ah, kokotoran kieu ulin teh” celetuk Armand…
”Enya, mending di toko, cicing bari ngopi” balas Barbar. Kembali terdengar celotehan-celotehan “penyesalan” yang khas. Yang disambut cekikikan oleh saya & Bobby.
“Ieu mah jigana jalan bagong euy” ujar saya…
”Enya, sugan manggih bagong, urg dahar we di dieu, sanguna urg mawa” balas Armand yang memang setiap hiking bersama District One selalu dibekali nasi bungkus plus masakan padang oleh istri tercintanya sebagai tanda bakti kepada suami yang perkasa.
Sapaan duri-duri kecil yang sejak awal penebasan mulai menggoresi tangan hingga wajah kami mulai membuat kami gatal-gatal ditambah dengan serebuan semut merah yang sarangnya tidak sengaja kami injak. Tapi hal ini rupanya menjadi tenaga baru bagi kami untuk mempercepat langkah agar segera keluar dari area “Bagong” ini.
Tidak berapa lama kami tiba di jalur “normal” yang menanjak kearah bukit yang kami tuju.
“Akhirna, manggih jalur beradab oge euy” ujar saya,,,
”Wah, urg balik ti dieu kudu facial yeuh, arateul beungeut” celoteh Armand. Sekitar lima belas menit kami menyusuri jalur normal akhirnya kami tiba di bukaan puncak bukit.
“Panggih oge jeung euy jeung puncak mount cook” teriak Bobby…
”Edan, meni mount cook Bo, meni gaya” sahut saya…
”Enya, artina puncak keur masak” tukas Bobby yang disambut tawa oleh kami.