bersatu padu rebut demokrasi gegap gempita dalam satu suara demi tugas suci yang mulia
hari hari esok adalah milik kita
terciptanya masyarakat sejahtera
terbentuknya tatanan masyarakat
indonesia baru tanpa orba
marilah kawan mari kita kabarkan
di tangan kita tergenggam arah bangsa
marilah kawan mari kita nyanyikan
sebuah lagu tentang pembebasan
di bawah kuasa tirani
kususuri garis jalan ini
berjuta kali turun aksi
bagiku satu langkah pasti
(lagu Buruh Tani)
Awal Mei 1998, tanda-tanda kekuasaan Soeharto memasuki masa senjanya sudah mulai terlihat. Unjuk rasa mahasiswa ditindas aksi represif oleh rezim militer Orde Baru. Lalu terjadilah peristiwa tewasnya Moses Gatotkaca di Yogyakarta karena bentrok dengan aparat yang menghalangi unjukrasa. Disusul tragedi Trisakti 12 Mei yang menewaskan Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto. Mahasiswa pun murka.

Pada Rabu, 13 Mei 1998, pukul 10.30 WIB, jenazah Hafidhin Alifidin Royan dimakamkan di Padasuka, Bandung. Tak lama kemudian puluhan ribu mahasiswa menduduki gedung DPRD Jawa Barat yang bersebelahan letaknya dengan Gedung Sate.
Pada Kamis, 14 Mei 1998, para guru besar Universitas Padjadjaran mengeluarkan pernyataan keprihatinan dan mendesak diselenggarakannya Sidang Umum Istimewa MPR. Pernyataan yang dibuat spontan atas dorongan hati nurani ini ditandatangani di antaranya oleh Sambas Wiradisuria, Achmad Baihaki, Sidik, Kusnaka Adimihardja, Sahala Sihombing, Teuku D. Amin, Daud Silalahi, Ponis Tarigan, Johan S. Masjhur, Winardi, dan Kusdwiratri Setiono.
Pada Sabtu, 16 Mei 1998, para guru besar Unpad juga mengeluarkan pernyataan sikap bersama setebal empat halaman. Pernyataan yang ditandatangani Rektor sekaligus Ketua Senat Unpad Maman P. Rukmana itu dibacakan oleh Johan S. Masjhur di hadapan ribuan mahasiswa dan dosen yang menghadiri acara mimbar bebas di kampus Unpad, Jalan Dipati Ukur, Bandung.
Pada Senin, 18 Mei 1998, staf pengajar Fakultas Ekonomi Unpad mendesak pelaksanaan Sidang Istimewa MPR. Termasuk dalam kelompok ini adalah Yuyun Wirasasmita, Arifin Wirahadikusuma, Surachman Sumawihardja, Sutaryo Salim, dan Faisal Afiff.
Ditanggal yang sama Presidium Forum Mahasiswa Bandung yang terdiri dari 35 perguruan tinggi menggelar aksi pernyataan tiga sikap di halaman kompleks DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro. Ketiga sikap itu adalah menjaga persatuan dan kesatuan bila presiden mau meletakkan jabatannya secara damai dan secepatnya, bersatu memperjuangkan reformasi di segala bidang tanpa kekerasan, serta mendorong ABRI bersatu dengan rakyat menuju Indonesia lebih baik.
Pada tanggal 18 Mei itu, Harmoko, Ketua DPR/MPR periode 1997-1999, menyampaikan pidato yang meminta Presiden Soeharto untuk mundur secara arif dan bijaksana. Namun, pada pukul 23.00, Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto menyatakan bahwa pernyataan Harmoko merupakan pandangan pribadi, karena tidak melalui mekanisme rapat DPR.
Pada 19 Mei 1998, Soeharto memanggil sembilan tokoh Islam yang menjelaskan situasi mengenai tuntutan masyarakat dan mahasiswa agar Soeharto mundur.
Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto resmi mengundurkan diri setelah berkuasa selama 32 tahun. Posisi presiden kemudian diisi oleh Wakil Presiden BJ Habibie, yang memulai berbagai langkah awal reformasi.