by Riza fahriza
Tepat pukul 22.00 WIB kalau tidak salah di pertengahoan Juli 1998 (atau rekan-rekan ada yang tahu waktu pastinya tolong dikoreksi), Abul tergopoh-gopoh masuk ke ruang Dewan Pengurus PALAWA UNPAD —kampus Dipati Ukur— dengan wajah bingung dia tertunduk lesu sambil dikawal “petugas provost”, Mang Aday yang sayangnya wajahnya saat itu menurut sayah mah kurang sangar lamun sangar mah pasti rea nu bogoheun komo pemanjat deui.
Mungkin dibenaknya, bertanya-tanya “Kunaon urang diundang mendadak ka sekre PALAWA, padahal acan bersiap-siap make baju batik. Mudah-mudahan we barudag PALAWA rek mayar hutang,” meureun ceuk manehna kitu.
Terlebih lagi, pemanggilannya tanpa ada surat resmi, hingga rasa penasarannya berkecamuk —mereun lamun ayeunamah, pikiran manehna boa2 urang rek meunang pemutihan (isu hot terkini) tea—.
O ya sedikit gambaran siapakah sosok Abul itu, mungkin pembaca udah tau apakah dia benda mati atau benda hidup, tapi yang jelas dia seorang yang baik hati pasalnya suka memberi utang rokok. Yah pekerjaannya mirip kayak Mang Komar yang suka dagang baso goreng make saos diplastikin, tentunya dia juga menjadi korban untuk diutangin. Kasian sekali Komar ini.
Di ruang berukuran tiga kali empat meter, sudah duduk Mang Rifki meuni jumawa pisan, pereupna diasah-asah jeung sekali-kali mengusap-ngusap brewokna nu kakarak tumbuh.
Saya sendiri sebagai penulis, duduk dengan tenang di belakang meja dan kursi ala direksi tea. Kesan anggun terpancar —narsis sedikitlah, gak pa2kan, tapi realitanya memang begitu tampang gagah ceunah mah ceuk Hani —sekarang jadi istri tercinta dan sudah memiliki dua buntut, Rizky alias Guevarra dan Rayma— Kang Ajo teh siga Leonardo De Caprio…hehehee—.
“Punteun, Ajo ngageroan abdi nya, ieu saur Adi,” kata Abul dengan wajah memelas dan mencoba bersalaman, gilanya lagi dia membungkuk badannya meuni feodal pisan.
Sedikit informasi, Mang Aday memanggil Abul dari ruangan HIMA Fakultas Hukum, mungkin dia lagi berleha-leha sambil nonton televisi 14 inci tapi dengan berat hari langkah kakinya menyeberang lorong yang panjangnya sekitar 500 jengkal itu.
“Mangga calik Bul,” saya membalas pertanyaan dia dan Kang Rifki pun berdiri.
“Kieu Bul, dadanguan mah Abul aya masalahnya jeung Adi terus nyebut-nyebut ngaran urang, aya naon?. Maksudna naon, lamun soal utang mah ulah ngomong2 kabatur atuh meuning ka urang langsung,” kata saya dengan suara sedikit berat —kebetulan keur flu saat eta teh—.
Abul pun terdiam atau mungkin terkesima dengan omongan sayah yang berat seperti itu. “Sigana Ajo, cocok mawakeun lagu-lagu Metallica,” mereun pikiran Abul siga kitu.
Aday yang terdiam di deket pintu, langsung nutupan hordeng, mungkin itu yang tingkat stress Abul semakin bertambah. Aroma eksekusipun semakin kencang, Rifki makin kereng mukanya apalagi dia habis berlatih panjat.
Sedikit informasi, kebetulan di sekre PALAWA saat itu, lagi kosong melompong, keberadaan Mang Eris juga saat itu sudah tidak jelas apakah pulang ke Tasik atawa nyimpang Ka Dago 34 (punteun Ris nyebut-nyebut namina, tapi piss lah urang oge penggemar Dago 34…btw inget teu karpet di lantai dua tea sebagai penyimpangan barang bukti alias dados terus srategi kita berdua diikuti oleh Dudi…hehehe).
Saya melanjutkan lagi omongann keras yang sedikit menginterogasi. “Bener teu, ngomong kitu, ulah kitu atuh euy jeung urang mah terbuka we,” kata saya dengan suara menggelegar.
Abul pun tambah bingung dia semakin tersudutkan dengan dua pertanyaan yang langsung menohok itu. Sayangnya Rifki dan Aday hanya diam saja, teu ngabantuan sayah ngomong, mungkin keduanya segan ke saya karena saya saat itu senior (punteun ka senior atas kelancangan saya ini).
Entah mungkin Rifki dan Aday saat itu lagi sakit gigi, tapi kalau sakit gigi harusnya ngomong ke saya tentunya nantinya mungkin dianterin ke Sekeloa tempat praktik anak-anak FKG yang gareulis itu. Tapi sayangnya mereka membisu, atau mungkin saja mereka segan kepada sayah yang gagah ini.
“Nya kumaha, lamun Abul salah ka Ajo, ka Rifki, ka Aday, punteun we atuh, punteun bilih aya perkataan anu teu pikangenahan ka Ajo,” ujarnya sambil tertunduk melihat lantai ruang DP nu dekil, maklum hari itu teu aya nu piket, lamun aya mah pasti ngarepel jadi we kucel lantaina.
Sayah saat itu kehabisan kata-kata, entah mau ngomong apalagi yah dengan terpaksa menerima “white flag” dari Mang Abul yang katanya seh ngaku berasal dari Garut, Jawa Barat.
“Nya kieu we lah Bul, masalah ieu beres tapi tong sasakali deui ngulang nya, tong lamun boga masalah disusumput. Ngomong jeung saya mah tode poin (punteun bahasa Inggrisna rada balelol) we,” kataku dengan suara yang diperlambat agar memberikan semangat baru kepada diri Abul yang saat itu benar-benar terdesak bagaikan kucing diserang ku anjing tea.
Setelah itu, Abul pun bangkit dari bangku kayu panjang dan dia mencoba menyalami sayah siga Lebaran wae. “Kade ah Bul,” kata Aday yang tiba-tiba berkata setelah sekian lama membisu mungkin rasa sakit giginya udah berkurang itu atau sudah menemukan pemecahan masalah mati geni dengan makan ke Bu Tunduh, tapi wallahualamlah soal itu mah memang gak saya pikirin. Yang jelas bagi sayah Aday tetap Aday atau Rifki tetap Rifki.
Singkat cerita, empat tahun kemudian atau tepatnya 2002, saya bertemu kembali dengan Abul, kedatangan saya ke kampus Dipati Ukur itu tidak lain daripada meliput kegiatan kampus UNIVERSITAS PADJADJARAN yang tercinta itu.
Tepat di lapangan atau di seberang aula yang mana suka digunakan pelantikan PALAWA UNPAD, saya berpapasan kembali dengan Abul yang tengah berdiri anggun di bawah kerindangan pohon di atas kampus FH.
“Eh Ajo, kamana wae atuh,” meuni sok akrab sembari mencoba menyalami ala feodal lagi, sayapun langsung sigap menarik tangan supaya tidak terkesan seperti preman kampus apalagi siang itu banyak gadis2 FH.
Kontan saya pun berbalik menjawab. “Ieu teh leureus Abul nya, bener Abul kan waduh semakin ganteng aja,” jawab diriku.
Abul pun senyum gumasep —mudah2an we teu bogoh ka sayah, lamun bener idih amit-amit pisan—. “Kumaha Bul, sehat ayeuna,” tanyaku.
“Alhamdulillah, sehat,” jawabnya tapi hatiku tetap dagdigdug kalau2 dia mengeluarkan buku rapor merah hutang-hutang yang belum terbayar sejak 1998 kalau diitung maju tentunya ada bunganya.
Tapi pikiran buruk itu, tidak terbukti dari sini saya bisa menilai Abul itu memiliki jiwa besar meski sekian tahun diintimidasi dia sangat bijak sekali dan mau memaafkan dosa-dosa sayah ini.
Tapi walaupun bagaimanapun saya tetap punya rasa bersalah dengan Abul karena banyak utang, tapi sampai saat ini kebetulan belum sempat nyimpang ka DU. “Punteunnya Mang Abul”
Tapi yang jelas saya akan membayar utang2 itu, meskipun berbunga sekalipun atau mudah-mudahan diputihkan saja —sori kata-kata ini bukan pemutihan yang sedang hot issue—.
Mudah-mudahan, di bulan yang suci ini, Abul akan memaafkan dosa-dosa sayah bersama Rifki dan Aday yang telah sempat membuat malam penghakiman buat sosok Abul.
Wassalam
BSD (Bekasi Situan Dikit) atau tepatnya di Cibitung, 19 Agustus 2011 sesudah sahur (ide tulisan muncul begitu saja)…