by Bayu Bharuna
Setelah tinggal di tepi megapolitan lebih dari sepuluh tahun akhirnya saya menyadari bukan penggemar kota besar, sehingga kemudian sedapat mungkin menjauhi megapolitan karena gerah dengan hingar bingarnya. Walau ekonomi selalu tumbuh pesat, inspirasi untuk hidup kerap hanya bertahan sebatas untuk survive. Entah bila megapolitan di negara lain yang lebih tertata kenyamanannya, namun harus saya katakan tak ada yang mampu ditawarkan untuk membujuk saya tinggal di kota itu.
Udara gerah hingga 32º C sebetulnya bukan masalah untuk merasa nyaman tinggal di ibukota karena apabila ada cukup pohon pelindung dan taman kota dengan kolam yang berair mancur maka suasana sejuk akan meresap di kedalaman hati. Apabila sungai tak berwarna coklat pekat dan berbau rasanya masih mungkin merasa damai melihat ketenangan airnya, bahkan mungkin bisa berwisata di alirannya seperti sungai Chao Praya di Bangkok atau sungai di Saigon. Tak fair membandingkan Indonesia dengan negara tetangga yang sudah maju seperti Singapura, namun dengan Thailand dan Vietnam kita sudah akan terengah-engah.
Mall-mall yang mentereng memang mudah ditemui di kota besar seperti Jakarta, namun gedung megah bukanlah sebuah tanda kehidupan yang sejati. Bila warga kota lebih senang berada di mall, menggerutu pada lalu lintas yang amburadul, sehingga “terpaksa” lebih senang tinggal didalam ruangan entah itu rumah atau cafe maka itu adalah sebuah ciri kota yang sakit.
“Kota yang baik adalah kota yang bisa merangsang warganya keluar rumah dengan sukarela dan ceria, ” ujar Enrique Penelosa, seorang walikota Bogota, suatu ketika.
Dapat merangsang warganya untuk beraktifitas di jalan-jalan kota, ruang public, creative center adalah daya tarik sebuah kota bagi warganya dan juga bagi turis yang datang dari kota lain. Sebaliknya warga dari “kota yang jahanam” dengan setia menunggu kapan mereka punya kesempatan untuk keluar dari kemelut kebiadaban kotanya.
Pemerintah perlu bersahabat dengan gagasan Alfred N. Whitehead tentang perencanaan untuk menciptakan lingkungan dimana manusia hidup berdampingan dengan alam. Model perencanaan ini akan melibatkan komponen pertumbuhan, perkembangan dan adaptasi. Ini dapat dianalogikan seperti keterkaitan jaringan syaraf, psikologis dan hormonal, serta system imun.
Supaya kota lebih manusiawi untuk ditinggali maka pemerintah harus dapat melihat sebuah kota sebagai sebuah konsep organis mirip tubuh manusia dimana semua elemen merupakan sebuah kesetimbangan. Sebuah luka di kaki seorang manusia, misalnya, akan dapat dirasakan pula oleh kepala karena ia merupakan sebuah system yang saling tersambung. Apakah mungkin seseorang yang kakinya sedang tertusuk paku akan menebar senyum kepada orang lain?
Selain memperhatikan daya saing ekonominya, faktor lain yang patut diperhatikan adalah komponen sosio kultural, lingkungan dan pemenuhan kebutuhan dasar warganya. Keempat komponen itu bila dapat diakomodasi dengan apik akan mendorong terciptanya nilai-nilai kearifan lokal, kreatifitas dan komunikasi. Nilai-nilai ini akan menjadi daya tarik sebuah kota lebih berkilau dibanding hanya mengandalkan mall-mall yang megah dan mentereng.
Apabila ekonomi menjadi panglima pembangunan kota maka tunggulah saatnya sebuah kota akan kehilangan jiwa dan hanya menjai sebuah pabrik besar yang penuh oleh polusi kehidupan dan tanpa harapan. Ingatlah bahwa praktek perencanaan kapitalis selama ini telah mengakibatkan degradasi lingkungan dan bumi secara umum. Kondisi ini mendorong untuk meredefinisi perencanaan menjadi usaha sistematis untuk memperlambat proses degradasi lingkungan dan diharapkan menuju kesetimbangan. Menurut pakar lingkungan Otto Sumarwoto, dalam pembangunan yang pesat cepat atau lambat bumi dan isinya akan berubah atau rusak dan manusia hanya bisa meminimalisir atau memperlambat kerusakan itu. (2013)