Mengasah Kembali Insting di Medan Operasi

562848_3565410728250_655055903_n

Selepas dari desa Pangli, desa terakhir di Bukittunggul, tiba-tiba jip Landrover Seri 3 yang dikemudikan Opik mengeluarkan asap putih dari kap mesinnya. Ternyata radiatornya overheat akibat tali kipas putus, sehingga aki pun tak mengisi dan jip tak bisa dihidupkan setelah mati mesin. Di jalan koral yang datar menjadikan terlalu berat untuk mendorong jip Landrover oleh crew yang lain, yaitu Bar dan Rifki. Mereka sedang meuju medan operasi diklat di Legokjero, kalau tak salah awal tahun 2009.

“Wah eweuh tali kipas cadangan euy..” gumam Opik.

Alternatif bantuan hanya ada tiga kemungkinan. Pertama mengandalkan personil yang akan datang dari Bandung, alternatif kedua minta bantuan dari personil yang ada di basecamp Legokjero, Bukttunggul atau alternatif ketiga menggunakan jasa ojek mencari spare part yang diperlukan. Namun untuk menghubungi via ponsel merupakan tantangan tersendiri. Diantara bebukitan kina, mendapatkan sinyal pun sudah merupakan keajaiban. Opik harus berlari-lari hingga ratusan meter untuk mendapatkan sinyal yang hilang timbul untuk menelepon ke Bandung mencari bantuan.

Karena sudah terlalu malam, personil yang datang dari Bandung kemungkinan baru sampai menjelang subuh. Ojek yang dititipi mencari spare part pun datang dengan tangan kosong karena semua bengkel sudah tutup. Sementara personil di basecamp Bukittunggul tak bisa dihubungi berhubung tak ada sinyal di gunung. Karena tak bisa dihubungi, mereka hanya dapat mengandalkan insting dari tim yang berada di gunung untuk turun membantu. Setelah itu tak ada lagi yang bisa dilakukan di malam yang semakin larut.

Menyadari tak ada lagi yang bisa dilakukan, ketiganya mencoba menikmati saja malam itu dengan membongkar logistik yang dibawa. Walau hujan turun dan dingin mulai menusuk, insting untuk memasak, membuat kopi dan merasa enjoy di perjalanan tetap dipelihara. Namanya juga di lapangan, apapun bisa terjadi. Expect the unexpected.. itulah arti sebuah perjalanan di medan operasi.

Veldbed dipasang, kompor trangia dinyalakan dan sambil bergantian menperdengarkan music dari ponsel supaya baterenya tidak cepat drop. Maklum saja tak akan ada stop kontak di hutan bila baterenya nanti drop. Mereka pun sudah siap bila harus membuka sleeping bagnya untuk melewatkan malam di tengah perkebunan kina. Tujuan mereka memang mencapai base camp di Bukittunggul, namun entah itu esok pagi atau malam ini juga tak menjadi masalah.

Hanya berbekal headlamp yang harus dihemat baterenya, kegelapan terasa sangat mendominasi pandangan mata. Namun tidak seperti di kota besar, malam disini tak menjadikan dunia menjadi sempit. Gelap sekeliling bukanlah warna hitam seperti yang coba diusir di kota. Ditengah perkebunan kina ini mereka berbagi cahaya dengan bintang, bulan, dan kunang-kunang. Manusia dan alam menjadi tak berbatas, melainkan manusia menjadi bagian dari alam yang tak berbatas.

Disinilah seninya perjalanan di medan operasi, ketika mental dan insting terkadang lebih berperan daripada fisik dan logika. Ketika kematangan psikis lebih berguna daripada kekuatan jasmani. Dalam situasi di lapangan seringkali sesuatu yang tak diharapkan terjadi. Hal ini menyebabkan patokan waktu tak bisa dijadikan ukuran bila melakukan suatu aktifitas opersional. Pencapaian tempat lah yang menjadi ukurannya (efektifitas), bukan jam berapa sampai disuatu tempat (efisiensi). Efektifitas dulu baru efisiensi, sebuah rumus kehidupan yang simpel namun dalam kehidupan sehari-hari sering tertukar susunannya.

Pikiran saya melayang ke dunia kerja ketika deadline dan timeline seringkali didengung-dengungkan. Dunia kerja pun kerap mendahulukan berbagai formalitas yang tak perlu, sementara esensi dari pencapaian tujuan seringkali tak relevan. Mengejar-ngejar efisiensi waktu yang belum tentu mendekati efektifitas sehingga waktu yang 24 jam sehari lalu seolah tak cukup untuk membereskan setumpuk kertas kerja. Sementara disini waktu seolah diam tak banyak menyapa. Manusia menjadi pusat semesta yang menentukan masanya sendiri. Waktu tak mengejar kita, melainkan menjadi hamba. Bila tak ada manusia, masihkah keberadaan waktu menjadi relevan?

Namun ternyata bantuan datang juga, bukan dari arah kota Bandung melainkan dari gunung. Sebuah landrover beserta crew turun dari hutan walau tak ada komunikasi yang dilakukan dengan mereka. Mungkin sebuah kebetulan, namun di medan operasi hal seperti itu tak jarang terjadi. Barangkali insting kembali terasah ketika manusia meninggalkan sumpeknya kehidupan kota dan kembali kepada kesyahduan pelukan hutan dan pegunungan.

Namun ketersediaan tali kipas tetap harus menunggu personil yang datang dari Bandung, karena itu bantuan yang bisa diberikan oleh datangnya jip landrover lain sebatas menghidupkan aki dan menjadi pemandu di depan. Maklum saja, lampu-lampu mobil tak bisa dinyalakan sehingga untuk menerangi jalan yang akan dilalui Bar dan Rifki bergantian duduk hujan-hujanan di atas kap mesin sambil menerangi jalan yang dilalui dengan headlamp yang dibawa.

“Kiri..kiri..Pik, di kanan jurang!” teriak Bar lantang dari atas kap mesin. Opik dengan cekatan segera membanting stir ke kiri.
“Ki..gantian euy..kaburu jibreg urang..” teriak Bar meminta Rifki gantian jadi navigator di kap mesin. Hujan yang turun membuat mereka berbagi tugas, agar tak terlalu basah.

Keduanya berusaha keras menajamkan pandangan mata dan mengerahkan insting di kegelapan. Andai saja anda merasakan gejolak adrenalin dengan duduk di atas kap mesin di jalanan yang koral dan berbatu dalam kegelapan :’-(

Setiap beberapa ratus meter sekali jip harus berhenti di jalanan yang menurun untuk mengisi air dingin ke radiator, dan menghidupkannya kembali dengan dorongan. Opik yang berada di belakang kemudi benar-benar harus mengeluarkan seluruh skill dan menajamkan instingnya agar mengemudikan landrover di jalur yang benar. Sedikit saja oleng ke jurang maka tak akan pernah ada tulisan ini..

Menjelang tengah malam barulah kedua jip landrover sampai di base camp. Sungguh sebuah perjalanan menegangkan yang memicu adrenalin. Toh, kami bukan yang terakhir tiba disini, masih ada tim lain yang akan bergerak naik menjelang subuh nanti. Saya bertaruh mereka pun akan dipaksa menajamkan kembali insting masa petualangan dulu untuk melacak arah base camp di Bukittunggul ini. Namun saya percaya bagaimanapun caranya mereka akan sampai.

Bila anda sudah lama tak mampir ke medan operasi, saran saya luangkanlah waktu walau hanya sehari dalam beberapa tahun. Anda akan merasakan kembali getaran adrenalin, militansi dan insting untuk menjelajah. The giant within yang selama ini lelap dininabobokan oleh kenyamanan akan terbangkitkan. Pada gilirannya potensi yang terbangkitkan kembali itu akan berguna di kehidupan sehari-hari, dengan bonus: sebuah persahabatan yang kembali segar.