Oleh Firkan Maulana (Urban Spatial Planner dan Antropolog)
Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang mempunyai kekayaan bangunan-bangunan tua dengan arstitektur indah peninggalan Belanda. Dulu memang Bandung dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda dengan meniru persis kota-kota di Eropa. Tak heran Bandung dijuluki Parijs van Java karena keindahan kota berupa taman-taman kota yang meneduhkan dan keelokan bangunan-bangunan berarsitektur cantik di setiap sudut kota.
Sayangnya, nasib bangunan-bangunan itu di Bandung sedang merana. Kasus pengabaian terhadap bangunan-bangunan tua bersejarah di Bandung kembali marak terjadi belakangan ini, seperti kasus pembongkaran dan penghancuran toko di Jalan Braga 67, pemandian kolam renang Tjihampelas dan rumah di Jalan Cimanuk 14 (Pikiran Rakyat, 19-23 Maret 2009). Kasus ini juga mengingatkan kejadian tahun-tahun sebelumnya tatkala banyak bangunan tua bersejarah seringkali menjadi korban dalam proses pembangunan di Kota Bandung.
Kini wajah asli Kota Bandung telah memudar dan kehilangan jati dirinya sebab fenomena pembangunan Bandung saat ini didominasi oleh bentuk-bentuk perancangan kota yang hampir mirip seragam dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Contohnya pembangunan pusat perbelanjaan (trade center, mall, ruko), hotel dan apartemen serta bangunan modern lainnya, yang secara arsitektur tidak memberi ciri khas citra dan jadi diri sebuah kota.
Namun perlu diakui, lenyapnya satu per satu bangunan tua bersejarah di Bandung bukanlah semata-mata lemahnya pengelola kota secara administratif karena belum adanya peraturan daerah (perda) tentang perlindungan bangunan cagar budaya. Masyarakat (pemilik bangunan tua bersejarah) dan pihak swasta juga mempunyai andil besar terhadap robohnya bangunan tua bersejarah. Hal ini menandakan belum adanya kesepahaman dan kepedulian bersama akan hakikat pelestarian bangunan tua bersejarah di Kota Bandung.
Pelestarian
Sekedar menyegarkan ingatan, pelestarian bangunan bersejarah perkotaan bisa diperhatikan dari dua kondisi. Kondisi pertama adalah lokasi atau bangunan bersejarah. Kondisi kedua adalah kawasan bersejarah yang banyak terdapat sekumpulan bangunan indah. Nilai sejarah diartikan adanya kejadian bersejarah yang mengiringi jejak perjalanan pembangunan kota yang terekam dalam berbagai macam gaya arsitektur bangunan di suatu lokasi.
Dua kondisi di atas banyak terdapat di Kota Bandung. Untuk kondisi pertama, misalkan ada Gedung Pos Besar, Gedung Pakuan dan sebagainya. Untuk kondisi kedua, misalkan kawasan Braga dan sekitarnya, kawasan Gedung Sate dan sekitarnya. Namun bila dicermati lebih teliti, secara perlahan telah terjadi merosotnya fisik, fungsi dan karakter visual dari berbagai bangunan tua bersejarah di Bandung. Contohnya, wajah kawasan Braga sudah semakin memudar karena tidak terlihat lagi kesan sejarah yang melekat di kawasan itu sebagai kawasan bisnis eksklusif.
Prinsip pelestarian bangunan tua bersejarah harus berlandaskan pada upaya merevitalisasi kembali lingkungan fisik, sosial, budaya dan perekonomian masyarakat. Prinsip ini perlu dijalankan dengan mempertahankan nilai sejarah suatu bangunan atau kawasan yang telah menjelma sebagai karakter, citra dan jati diri sebuah kota. Singkatnya, upaya revitalisasi ini untuk menemukan kembali identitas sebuah kota yang sarat dengan sejarah perkembangan kota.
Sudah bukan jamannya lagi memusnahkan bangunan tua bersejarah demi alasan ekonomi semata, sedang nilai sejarah sama sekali diabaikan. Dengan dalih seperti meningkatkan pendapatan asli daerah, penciptaan lapangan kerja dan sebagainya, maka bangunan tua bersejarah akhirnya dirobohkan lalu diganti menjadi bangunan komersial modern.
Padahal pelestarian bisa dilakukan dengan melakukan perubahan fungsi bangunan agar keberlanjutan karakteristik nilai kesejarahan bangunan itu bisa dipertahankan. Bangunan tua bersejarah itu mempunyai potensi pariwisata. Sayangnya, belum ada langkah sinergis antara pembangunan kota, pelestarian bangunan tua bersejarah dan pengembangan pariwisata perkotaan.
Insentif dan Disinsentif
Karakteristik bangunan tua bersejarah di Bandung bisa diamati dari tiga hal yaitu segi fungsi bangunan, bangunan konservasi dan status kepemilikan bangunan. Pengenalan terhadap karakteristik tersebut sangat berguna untuk implementasi revitalisasi bangunan tua dan kawasan bersejarah melalui penerapan skema insentif (perangsangan) dan disinsentif (penghambatan) dalam program perencanaan pembangunan kota.
Bila ditinjau dari segi fungsi bangunan, terdapat empat kategori fungsi yaitu difungsikan untuk aktivitas bisnis jasa dan perdagangan (toko, restoran, kafe, hiburan pub karaoke), untuk hunian, untuk gudang, untuk kantor dan ada juga yang tidak difungsikan sama sekali. Dari segi bangunan konservasi, terdapat lima kategori yang bisa diamati kondisi fisik keaslian bangunan tua bersejarah, yaitu fasade, penambahan lantai, keseluruhan bangunan (lantai, warna dinding, material atap, tangga dan sebagainya), bangunan yang tidak terawat dan berubah jadi bangunan baru.
Jika ditinjau dari segi kepemilikan, pada umumnya bangunan tua bersejarah dimiliki oleh individu (masyarakat), swasta (perusahaan) dan pemerintah (negara). Para pemilik tersebut kadang menyewakan bangunan miliknya tersebut kepada pihak lain. Ketika digunakan oleh pihak lain, maka fungsi bangunan pun bisa berubah. Malah kalau dibeli pihak lain, bukan saja fungsinya yang berubah tapi juga kondisi fisik bangunan bisa berubah.
Ketiga karakteristik di atas satu sama lain saling berkaitan. Identifikasi terhadap karakteristik tersebut perlu dilakukan terhadap keseluruhan bangunan tua bersejarah yang ada di Bandung. Hasil identifikasi sangat penting untuk memberikan informasi yang jelas mengenai keberadaan bangunan tua bersejarah dan aktivitas yang ada di sekitarnya.
Hasil identifikasi ini juga berguna sebagai gambaran terhadap materi-materi substansi di dalam perda perlindungan bangunan cagar budaya. Bagi para pengelola kota, hasil identifikasi ini berguna sebagai dasar bagi perumusan kebijakan revitalisasi bangunan tua bersejarah dan kawasan bersejarah di dalam perencanaan program pembangunan perkotaan.
Implementasi program revitalisasi bangunan tua bersejarah perlu didukung dengan skema insentif dan disinsentif. Misal, pemilik bangunan tua bersejarah kategori individu perlu diberikan insentif agar peduli dan punya perhatian dalam merawat maupun menata kembali keaslian bentuk bangunan. Bentuk insentif yang diberikan misalnya berupa keringanan pembayaran pajak bumi dan bangunan atau adanya pembayaran setengah harga untuk biaya listrik dan air minum.
Bagi para swasta, yang hendak mengalihfungsikan bangunan pun perlu diberi insentif untuk usahanya. Namun harus dengan upaya mempertahankan keaslian bentuk bangunan tua bersejarah dan juga memelihara keberlanjutan bentuk asli tersebut. Bentuk insentifnya misalkan ada keringanan pembayaran pajak atas usaha yang dilakukan swasta.
Sedangkan, disinsentif layak diberikan kepada pemilik atau penyewa yang hendak merubah keaslian, baik dengan sengaja merombak, merobohkannya atau melakukan usaha yang mengancam kerusakan bangunan tua bersejarah. Disinsentif yang bisa dilakukan misalnya dengan tidak diberikannya jaringan listrik, saluran air bersih, jaringan telepon.
Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Kompasiana