Penataan ruang di wilayah kota Bandung tidak dapat mengeyampingkan tata ruang desa-desa penyangga di sekitarnya karena menyangkut hubungan yang holistik dalam hal ketata-ruangan. Mengenyampingkan desa sebagai indikator perkembangan kota dapat berdampak pada pembangunan yang abnormal dan mis-urbanisasi[1]. Selain itu akan menciptakan jurang perbedaan yang cukup esensial.
Dalam rangka melaksanakan pembangunan daerah maka tercapainya tertib pembangunan dan pengembangan kawasan secara terpadu, pemanfaatan ruang wilayah/daerah secara lestari, optimal, seimbang dan serasi sangatlah diperlukan. Keterpaduan pembangunan daerah dalam konteks pembangunan kota dan menjadikan desa sebagai indikator perkembangan kota, maka diperlukannya kajian desa sebagai daerah pendukung.
Penataan DAS Cikapundung
Dalam konteks penataan DAS wilayah Kota Bandung, maka tidak terlepas dari wilayah Bandung Utara, yaitu daerah yang menjadi hulu dari sungai Cikapundung[2]. Sebagai wilayah serapan air bagi Sungai Cikapundung, maka daerah Bandung Utara memiliki peran penting secara geografis. Implikasi dari keberadaan Sungai Cikapundung pada jatung Kota Bandung, maka akan berimbas pada perlunya penataan ruang di wilayah hulu sungai Cikapundung. Sebab hal ini menyangkut perkembangan kota Bandung dan keberlanjutan lingkungan di wilayah hulu Sungai Cikapundung. Dalam pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang, pada dasarnya dilaksanakan dalam tiga tahapan proses yang saling terkait. Pertama, pencatatan sumberdaya dan perwilayahan. Kedua, mengevaluasi/memonitor perubahan dan ketiga, perencanaan.
Aspirasi dan peran warga menjadi indikator penting dalam menyusun tata ruang suatu wilayah. Peraturan Pemerintah no 69 tahun 1996 mengatur hak masyarakat dalam kegiatan penataan ruang (lihat Kota I). Masyarakat juga memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam memelihara kualitas lingkungan dan berlaku tertib dalam keikutsertaannya dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan menaati rencana tata ruang yang telah disepakati.
Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1996 menetapkan hak masyarakat dalam kegiatan penataan ruang masyarakat sebagai berikut:
- Berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
- Mengetahui secara terbuka rencana tata ruang wilayah, rencana tata ruang kawasan dan rencana rinci tata ruang kawasan.
- Menikmati manfaat ruang dan pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang.
- Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.
Partisipasi warga
Mengakomodasi kepentingan warga disekitar hulu Sungai Cikapundung merupakan manifestasi holistik dari interaksi antara kota dan desa di kota Bandung. Menggali keperluan tara ruang lokal dan menyaring aspirasi warga adalah pondasi bagi studi komprehensif penataan ruang hulu Sungai Cikapundung, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi secara positif wilayah jantung kota, karena diharapkan kondisi sungai Cikapundung yang membelah kota Bandung dapat terjaga secara asri.
Pentingnya keterjaminan eksistensi Sungai Cikapundung karena pemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat, sehingga beberapa hal yang harus diperhatikan dalam studi ini antara lain:
- Keterjaminan penyediaan air dan pemanfaatan Sungai Cikapundung sebagai akses sumber air bersih.
- Pemanfaatan ruang di daerah hulu Sungai Cikapundung bagi aspek ekonomi, baik oleh masyarakat sekitar hulu sungai maupun masyarakat sekitar Bandung.
- Kondisi peran warga:
- Warga sekitar hulu Sungai Cikapundung sebagai pemanfaat wilayah, minimnya peran warga dapat mempengaruhi degradasi sungai.
- Minimnya peran aktif warga dicerminkan dengan kondisi degradasi lingkungan di wilayah hulu Sungai Cikapundung.
- Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman warga sehingga melihat tata ruang hanya sebagai peta dengan berbagai warna yang menunjukkan peruntukan dan penggunaan lahan.
Menata sebelum terlambat
Secara khusus dirasakan perlu studi yang bertujuan memberi masukan dalam menata wilayah hulu Sungai Cikapundung dengan berbasis pada partisipasi warga sehingga nantinya bisa menghasilkan output pemanfaatan ruang bagi perekonomian masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Kemudian diharapkan dari tujuan khusus ini akan menciptakan efek domino bagi keberlanjutan dan meminimalisir degradasi Sungai Cikapundung.
Memahami kebudayaan sebagai sistem adaptif, maka alternatif pendekatan dalam penelitian dapat menggunakan pendekatan materialis. Maksudnya penelitian ini menekankan pada hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya, dimana karena adanya tekanan, kebudayaan digunakan sebagai cara untuk tetap mempertahankan kehidupan.
[1] Urbanisme, merupakan faham tentang tingkat atau sifat dari masyarakat kota, artinya sejauh mana masyarakatnya mempunyai sifat-sifat kota yang lebih mengandalkan jasa ataupun sifat individualisnya, dalam hal ini urbanisme juga merupakan cara hidup khas perkotaan. Selain itu, urbanisasi merupakan proses dari urbanism, artinya urbanisasi tidak hanya berbicara mengenai perpindahan penduduk dari kota ke desa, tetapi juga berbicara mengenai suatu proses pengkotaan atau menjadikan desa sebagai kota ataupun perluasan kota yang berdampak pada pengkotaan daerah-daerah desa di sekitarnya
[2] Sungai Cikapundung mengalir dari Utara bandung (daerah Bukit Tunggul) menuju Selatan Bandung dan berhulu di Sungai Citarum pada kawaan Dayeukolot.