Bulan Februari 2015 di situ Sangkuriang, Bukittunggul sedang ada medan operasi diklat. Kesempatan baik untuk bertemu kamerad lama sekaligus berolahraga. Akan menyenangkan bila esok lari pagi sepanjang koral dan jalan setapak pebukitan kina, menghirup udara segar dan aroma rumput basah berembun di pagi hari. Sepertinya sebuah awal yang bagus memulai hari yang indah.
“isukan lari jam sabaraha?” tanya Bar.
“Jam genep nya meh hawa na seger keneh,” jawab Wawan.
“ Sayah turun heula ka Cimahi kang, engke tabuh genep ka dieu deui milu lari,” Salman yang juga penyuka lari trail menimpali.
“Wah serius yeuh?” tanya Bar. Semua tampak bersemangat sekali akan trail running esok hari.
“Siap,” jawab Salman sigap.
Malam berlalu di situ Sangkuriang. Cuaca basah karena musim penghujan, gemericik rinai gerimis yang berlabuh ke danau terasa syahdu sepanjang malam. Tetes-tetes air yang telah mengembara jauh kini penuh rasa rindu berkumpul kembali dengan danau yang menyambut penuh sukacita. Menjelang pagi, embun menghangatkan pertemuan mereka, memeluk dedaunan begitu eratnya bagai tak ingin berpisah lagi. Namun mentari sudah mengintip dari balik pucuk daun, dengan santunnya mempersilahkan tetes-tetes air murni itu moksa tanpa tergesa ke haribaan alam raya.
Sambil menggulung sleeping bagnya Bar celingukan mencari Wawan. Olala..sudah tak ada di peraduan, rupanya sigap sekali akan trail running. Padahal masih setengah enam, dingin masih menggelayut di sekujur tubuh. Brrr.. bahkan kabut pun belum meninggalkan danau.
Wawan kemudian muncul dari kejauhan, berjalan dengan masygul. Ada apakah?
“Sapatu urang kamana nya..” gumam Wawan celingukan.
“Sapatu numana?”
“Anu nike air tea,”
“Asa tara nempo make nike air ti baheula ge,” ujar Bar garuk-garuk kepala.
“Hiss..beda ieu mah,” mimik Wawan serius mencari sepatu larinya.
Semua ikut mencari, tiap mobil digeledah. Namun tak suatu nike air pun ditemukan.
“Aya ge air aqua..” gumam Gatot.
“Paur rada spiritual ieu mah..” Wawan seperti mendapatkan penerawangan. Sekali semua tempat digeledah, namun bahkan kaos kaki Wawan pun tak ditemukan.
“Ah urang ge moal jadi lari mu kitu mah”, ujar Bar solider. Tiris barenage, pikirnya.
“Enya mening nungguan tukang warung datang ,” sambut Gatot ,”paling ge sajaman deui.”
Betapa benarnya, buat apa lari-lari sendiri di pegunungan seperti di youtube. Mending ngopi pagi sambil menunggu nasi liwet dijajakan oleh penjaga warung. Terbayang ayam goreng, jengkol, petai dan rupa-rupa penghias meja makan untuk sarapan pagi ini.
“Mening nungguan liwet we atuh nya,” ujar Wawan pasrah sepatu nike air nya tak ditemukan.
Benar saja, tak lama kemudian sang empunya warung datang dengan dua motor porter. Tampaknya ia sudah mencium kehadiran lebaran-lembaran rupiah dari para trail runner yang apatis ini.
Setelah kegiatan di Bukittunggul selesai, masing-masing pun turun ke Bandung.
“Bar ari Wawan mana,” tanya Bais ketika sampai di toko, “ieu sapatu na tinggaleun. Di telepon tapi euweuh sinyal jigana di gunung.”
“Nike air lain?” Bar penasaran.
Bais mengernyitkan muka.
“Nike ardila jigana ieu mah.”