Wawan dengan iri memandang Imam, mahasiswa yang mendampingi, dengan enteng berjalan membawa semicarrier yang padat sembari santai merokok.
“Baheula mah urang ge kenca katuhu ngudud na…” ia menghibur diri. Tentu saja pada masanya, Wawan kerap mengoleksi puncak-puncak diatas 3000an meter. Deni memborong lontong dan tahu Sumedang saat mobil berhenti di Rancaekek. “Da kumaha atuh nya ari lapar mah,” belanya. Yang lain senang-senang saja menyambuk baik cemilan berat ini, yang ludes dinikmati sepanjang perjalanan mobil menuju ke daerah Pacet, Majalaya.
Segera setelah mobil parkir di halaman desa, Bar langsung mencari warung terdekat. “ Kalem we, santai heula ..” ujarnya sambil melahap gorengan bala-bala dan gehu. Yang lain pun berpesta kecil dulu di warung sebelum memulai pendakian ini. Tentu saja, waktu semakin beranjak menuju siang. Hampir dua jam delay dari itenary yang sudah dirancang.
Menjelang tengah hari, perjalanan baru dimulai. Matahari terik di ubun-ubun, untung semua membawa topi. Pengalaman, barangkali itu saja bekal mereka kembali gunung-gunungan kali ini. Walau kick off pendakian delay hingga dua jam, mereka dapat memperkirakan sudah akan kembali ke desa sebelum gelap. Maklum saja, tak satupun membawa senter. Alamak..
Tak sampai setengah jam, nafas ngos-ngosan sudah terdengar. Peluh membanjir deras. “Jrit..nepi kadenge detak jantung sorangan,” Bais membuka suara.
“Aduh..sugan teh arek fun trekking..” keluh Ervan. Ini semacam sinyal untuk beristirahat, yang segera disambut bahagia oleh yang lain. Tak ada yang dikejar dalam pendakian ini, puncak bukan lagi tujuan utama, sunrise bukan lagi kemewahan. Kini adalah masanya kebersamaan, lalu untuk apa bergegas. Hampir tiap 100 meter mereka berhenti.
Medan pendakian Rakutak relatif landai sehingga memberi cukup banyak kesempatan menarik nafas sebelum memasuki medan terjal didepan, terutama menjelang puncak kesatu. Daya tarik Rakutak adalah jalur yang berupa bibir jurang yang menghubungkan puncak-puncaknya. Pemandangan terhampar bebas sepanjang jalur yang berbahaya ini. Tampak hamparan hutan yang masih tak terjamah dibawahnya.
Sementara para fotografer mendokumentasikan keindahan alam Rakutak dari puncaknya, kompor Trangia pun digelar untuk memasak mie serta minuman panas kopi dan teh. Tak ada yang lebih menyenangkan selain memberi sentuhan abadi di puncak perjalanan. Acara memasak ini ibarat sebuah ritual, sebuah upacara singkat namun akan dikenang abadi.
Ini lebih seperti reuni mereka yang dulu pernah berkegiatan di alam bebas, katakanlah 15 – 20 tahun lalu. Sehingga tak heran kini yang dikejar bukanlah aroma petualangan ekstrim , namun lebih suasana nostalgia. Kini mereka bukanlah sebagai pelajar atau mahasiswa lagi, namun dari dari beragam profesi dengan istri dan anak yang menunggu di rumah. The expendables, mereka yang sudah terbuang dari dunianya.
Bagi sebagian dari mereka, perjalanan kecil di bulan September 2014 ini seolah menyentak alam bawah sadarnya dengan keras. Belasan tahun lalu ketika merasa sudah pensiun dari petualangan, tak satupun menyangka akan ada momen untuk kembali melakukan hal yang sama. Perjalanan kini adalah sebuah pemahaman baru tentang alam, tentang hubungannya dengan manusia, dan terutama tentang diri mereka sendiri.