Siapa yang tidak tahu Erick Weihenmayer, seorang pendaki tuna netra yang berhasil menggapai puncak Everest. Semangat dan tekad bajanya cukup mencengangkan, keterbatasan fisik ternyata tidak menjadi hambatan untuk menggapai sebuah keiinginan.
Sonny Jaka Yusuf, karib saya semasa SMA seorang penyandang tuna netra akibat penyakit Lupus yang dia derita sejak tahun 1995 setidaknya mempunyai sedikit kesamaan dengan Erick Weihenmayer walaupun perjalanan petualangannya tidak sespektakuler dengan Erick. Semangat juang dan niat yang membara adalah factor yang menjadi persamaan dari kedua orang tersebut.
Pada masa-masa sekolah dulu, Sonny merupakan seorang penggemar kegiatan outdoor, tentu saja sebelum penyakit Lupus menggerogoti penglihatannya. Jeda berkegiatan outdoor yang cukup lama membuat fisiknya kurang terlatih. Hingga pada suatu hari, berawal dari komen-komennya di postingan saya di facebook mengomentari foto2 kegiatan fun hiking yang saya upload.
“Wani son, hiking?” tantang saya pada sebuah postingan…”Siapa takut?” jawabnya. “Asal aya nu nungtun we” lanjutnya datar. Saya pun tersenyum ragu…
Akhirnya saya pun mencoba mengajak dia untuk ikut serta dalam fun hiking keluarga di jalur Dago Pakar – Maribaya via patahan Lembang yang merupakan jalur jalan setapak menyusuri hutan pinus dengan medan yang cukup variatif.
Perjalanan diawali dengan menyusuri jalanan aspal yang menanjak menuju pintu masuk patahan Lembang dengan jarak 1km. Keringat mulai membasahi sekujur tubuh Sonny dengan cuping hidung yang kembang kempis berusaha mengatur ritme nafas. “Wah, geus lila teu kikieuan, eungap oge euy” celetuknya. Jujur saya sendiri cukup khawatir mengingat fisik penderita Lupus tidak boleh terlalu lelah, so..bukan ketunanetraannya yang lebih saya khawatirkan, tapi kambuhnya efek penyakit Lupus yang saya takutkan. Oleh karena itu ritme perjalanan rombongan fun hiking keluarga itu saya atur sedemikian rupa agar dia tidak terlalu memforsir fisiknya.
Memasuki kawasan hutan pinus, jalur pun mulai menanjak berselimut udara sejuk khas pegunungan. Para peserta Fun hiking yang terdiri dari ibu-ibu, anak-anak dan para bapak muda asik bercengkrama sambil menikmati view indah yang tersaji di sepanjang jalur. Sementara saya yang menjadi leader di depan celingukan mencari keberadaan Sonny yang tidak tampak dalam barisan…
Saya pun berbalik ke belakang setelah sebelumnya meminta barisan depan untuk beristirahat. Saya berlari ke belakang mencari keberadaan Sonny, hingga akhirnya tampak beberapa meter di belakang barisan tengah dituntun oleh rekan Wawan…”Cenah nanjakna saeutik euy?” protes Sonny saat saya tiba. “Hehehehe, enya saeutik deui son “ jawab saya. “Rek diteruskeun atawa balik deui Son?” Tanya saya. “Terus atuh, kagok sakieu mah” jawab Sonny belagu…”Tapi urang istirahat heula nya? Ring seher beunang yeuh” Sambung Sonny. “Enya Son sok istirahat heula” jawab saya demi melihat nafas beliau yang mulai megap-megap.
Yang saya salut dari Sonny, walaupun dia sekarang menjadi seorang tuna netra, kepercayaan dirinya tidak pernah sirna, jauh dari gambaran seorang tuna netra yang melankolis seperti dalam sinetron-sinetron picisan. Malah kejahilannya dari semasa sekolah dulu tidak hilang disertai celetukan-celetukannya yang ‘pikasebeleun’ menjadi ciri khasnya. Kejahilannya muncul saat kami harus melalui jalur menggunakan webbing dengan tekhnik rappelling. “Awas Son, cepeng talina” teriak Wawan dari atas, sementara saya dan kawan Nuki menunggu di bawah siap meraih kakinya. “halaaah !!!” Teriak Sonny tiba-tiba seolah dia terpeleset dan akan terjengkang ke belakang, saya dan Nuki sigap beranjak hendak menahan tubuhnya yang seolah akan terjatuh….”hahaha, katipu nih yee”. Celetuk Sonny yang dengan santai meluncurkan tubuhnya ke bawah. “Gelo siah, nyaho kitu ku urang diantepkeun” ujar saya kaget.
Perjalanan hiking menyusuri hutan pinus akhirnya usai di sebuah warung. Kopi panas, gorengan hangat dan mie rebus menyambut kami…”fuiih, nepi oge urang euy” ujar Sonny. “Tadina urang geus haying eureun we, awak geus leuleus teu kuat..” lanjutnya. “Naha atuh lain eureun wae?” jawab saya. “Tengsin urang daripada dibully ku maneh di facebook, mending lanjut we urang mah”. Tawa pun meledak memenuhi warung sederhana di ujung jalur patahan Lembang…
8 November 2015