by Dodi Rokhdian
Siang itu di terminal 2 Bandara Soeta, harinya Senin 21 Maret 2011, tak ada sinar rembulan. Yah tak ada rembulan karena memang giliran mentari yang bersinar karena ini siang-siang. Saya duduk menunggu, ditemani istri dan tatapan mata Kolonel Harland Sanders si pendiri resto ayam siap saji bernama KFC. Tatapannya membuat saya malu jika duduk dan tidak makan.
Rekan dari Bandung belum datang, saya ke tempat dimana saya harus pesan makan, bergerak dari kursi sambil berlari kecil seolah-olah terburu dan diburu urusan penting (tidak kencang tidak laju). ”Paket Combo mbak” ujar saya sambil terus berlari di tempat. “Makan disini?” tanya si mbak yang berdiri depan alat hitung uang (kasir). “Tidak mbak” ujar saya.”Take away?” balas si mbak. “Tidak mbak” itu ujar saya. “Makan disini tidak, take away juga bukan, jadi?” ujar si mbak kesel. “Saya makan disana!”ujar saya menunjuk satu meja. “Oh!” kata si mbak.
Makanan datang, rekan Bandung datang, kita sms-sms soal dimana kami bertemu kala itu. Oh itu kang Onat datang duluan, lalu Opik dengan celana cargo barunya – katanya baru dipendekin dirumah sebelum berangkat. Lalu Bar dengan sepatu semi koyak – katanya biar nanti dibuang di Ho Chi Minh dan beli yang baru. “Pokona target sapatu 2 juta-eun” niat Bar sambil cerita bahwa sepatu koyak putihnya akan didonasikan kepada gerakan intifada di Palestina, “lumayan jang maledog tentara pendudukan israel” ujarnya penuh -tekad jihad. Lalu Asnur,Rifki, dan Ayung merapat di titik pertemuan itu.
“Iskandar teu bisa euy, padahal geus mayar, bisa teu tiketna dijual?” itu celetukan diantara kami.
“Kupil kumaha?” ujar Opik.
“Fifty-fifty euy, jikun-na tiba-tiba gering”ujar Bar memberi tahu bahwa Luthfi atau Kupil belum ada kepastian sehubungan istrinya sakit. Selesai makan kami check in dan boarding, pas itu pula sms dari kupil hinggap ke HP,”Tungguan urang OTW, kaburu teu nya?” Kupil meminta pertimbangan.
“Merapat weh Phil, mun bisa naek ambulan, meh gancang, 15 menit deui yeuh” sms dibalas Bar. ‘sok merapat Pil, ku urang rek di sabotase Air Asia-na meh rada telat”disusul sms lain pada Kupil yang akhirnya memilih moda transportasi ojeg – alias ongkos ngajegang – bukan ambulan.
Di ruang tunggu setelah boarding dan imigrasi Asnur memilih sholat dulu agar pesawat tertahan sejenak, Ayung ke WC, Kang Onat ke duty free dengan Rifki beli jamu asli Rusia. Sementara saya dan Bar, dan Opik (Tiga KP idaman) berandai-andai merencanakan sabotase biar pesawat Air Asia mau menunda sejenak dan menunggu kupil datang.
“Kempesan ban-na kitu ku aing” ujar Bar seolah-olah jadi Rambo.
“Sumputkeun konci pesawatna kumaha?” ujar Opik.
“Ulah subsersif eta mah, mending sandera pramugarina tilu urang mah”itu ujar saya yang ditimpali nyerengeh kami bertiga penuh makna.
“Satuju, sandera,talian, urang bawa ka Fansipan” kata Bar sambil membayangkan betapa dinginnya Fansipan.
Sabotase berhasil (meski tanpa diwujudkan sebagian rencana kami bertiga) kupil datang terengah-engah berpeluh menganak sungai. Dia hanya membawa satu ransel dan satu tas kamera, lupa dan tak membawa rendang daging dan peralatan kehangatan aktivitas gunung hutan.
“Wah minimalis euy, nginjem sleeping bag nya urang” kata Kupil mendelik pada yang lain, yang lain tak menggubris, “Nya nitip suku lah saeutik mun sare” ujar Kupil memelas.
Singkat kata kami akhirnya dibawa terbang ke Ho Chi Minh City untuk menginap semalam di sana, belanja barang kebutuhan, lalu besoknya ke Hanoi. Di bandara internasional Tan Son Nhat, Ho Chi Minh sebelum Jetstar membawa kami mendarat di Bandara Noi Bai, Hanoi dipemeriksaan bagasi pesawat tas Ayung berbunyi saat di sensor, “titit-titit-titit”
Sebilah pisau diketahui disimpannya di tas, petugas imigrasi vietnam, menyita pisau jimat milik saudaraku Ayung yang nampak keberatan miliknya di sita,”No this is souvenir, this is expensive” ujar Ayung pada petugas imigrasi berpakaian tentara itu. Dengan berbahasa Inggris pula sang petugas pun berargumen, lebih kurang begini terjemahannya, “pisau ini di sita, berbahaya bagi keamanan Vietkong, dan kami tak mau kejadian dulu saat pisau Rambo lolos dari pemeriksaan terulang lagi,”ujarnya.
Rupanya Rambo membuat pisau Ayung disita, dan kami semua mau tak mau mengutuki kelakuan John Rambo tersebut. Lalu kami pun ke Hanoi, lalu sambung berkereta 10 jam ke Lao Cai, lalu naik van 40 menit ke kota Sapa yang berbatasan dengan China, Di Sapa kami mendaki Fansipan atap Indochina dan eksplorasi suku asli lewat photo, lalu kemudian? Kemudian saya sudahi sejenak kisah ini, untuk nanti dilanjutkan bila ada waktu dan kesempatan.
Demikianlah – 067 KP