Gunung dalam Kosmologi Masyarakat Sunda

Beunang guguru ka gunung, beunang tatanya ka Guriang

Jonathan Rigg (1862),  menuliskan dua kalimat; “Beunang Guguru ti Gunung – Beunang nanya ti Guriang” dalam karya leksikografnya yang berjudul A Dictionary of The Sunda Language of Java.

Tak saja Rigg, banyak intelektual Eropa yang  terpukau oleh pegunungan tanah Sunda. Sebut saja Junghuhn, Boscha dan kemudian kita akan mendapatkan sebuah daftar yang panjang. Para ilmuwan kolonial kala itu mendapati masyarakat wilayah Jawa Barat sebagai manusia Jawa yang hidup di pegunungan, dan mereka hidup berpindah-pindah atau nomaden.

Dengan demikian, Manusia Gunung adalah ungkapan yang dilekatkan pada masyarakat Sunda, yaitu manusia yang hidup berdekatan dengan, atau sekitar gunung, sekaligus akrab dengan gunung. Mitos dan legenda tentang gunung misalnya legenda sangkuriang yang menceritakan sasakala Gunung Tangkuban Parahu menunjukkan bahwa kosmologi Sunda memang sangat erat dengan gunung.

Gunung Sanggara
Foto : Asyrurifa Fauzi

Tanah Sunda sering disebut parahyangan. Istilah ini berasal dari anggapan bahwa di Tatar Sunda dikelilingi oleh gunung yang dianggap sebagai tempat tinggalnya para hyang, sehingga dinamakan parahyangan (Sudaryat, 2015). Gunung berperan penting dalam perjalanan sejarah Sunda karena berbagai situs megalitikum dan makam keramat umumnya terdapat di gunung (Wessing, 2006).

Dengan demikian filosofi hidup masyarakat Sunda adalah “Mulasara Buana’ yaitu memelihara alam semesta.  Kearifan tradisional dalam penataan ruang di Tatar Sunda tercermin dalam papatah/pesan: ‘Gunung-kaian; Gawir-awian; Cunyusu-rumateun; Sampalan-kebonan; Pasir-talunan; Dataran-sawahan; Lebak-caian; Legok-balongan; Situ-pulasaraeun; Lembur-uruseun; Walungan-rumateun; Basisir-jagaeun’. Jangan sampai kelak kita dan anak cucu menyaksikan kejadian ‘leweung ruksak, cai beak, antukna manusa balangsak’.

@bayubhar

(dari berbagai sumber)