teks dan photo : Dodi Rokhdian
Musim tanam tahun lalu amat berlimpahnya. Hutan, tanah, dan sungai amat berkasih pada orang yang taat mematuhi aturan hukum-hukum alam di dalamnya. Patutlah itu semua, atas segala keberlimpahan yang telah alam berikan, harus diwujudkan dengan rasa syukur. Begitulah kiranya makna syukur itu di aktualisasikan, dengan upacara sapat tahun – menutup tahun keberlimpahan dan menyongsong musim tanam baru. Warga bilang upacara demikian dengan sebutan kamuh banyak. Ini terjadi di masyarakat dayak tayap hulu, sub etnik dayak kayung, yang mengimani kebesaran duato – penguasa seluruh isi alam raya dalam religinya. Sesajian di persembahkan, begendang diwartakan, orang-orang suka ria penuh takzim, memanjatkan doa-doa, menari meliuk seperti angin.
Inilah Sebadak Raya, desa asli masyarakat dayak, yang mengaku bagian dari kerajaan hulu a’i, sub tayap hulu. Mereka tanpa tergoda janji manis tuan besar perkebunan skala besar tetap melakukan perlawanan atas hutan yang sempat diincar sang investor. ‘siapa yang tak tergoda dengan sejumlah uang besar, jikalau uang tersebut akhirnya menempatkan kami menghamba kepada sesuatu selain Duato? karena itu artinya akan punahlah identitas ke-dayak-an kami.
“tumpah tuak, tumpah dalam, ompun duato .. kepadamulah kami bersyukur atas segala kemurahan engkau,dan padamulah keselamatan kami pintakan” begitulah kiranya pinta doa seorang Bolin Duato yang kerap berdiri di garda depan membela pendukung logika kebudayaannya. (2010)