Ada Tak Ada Uang Engkau Tersenyum

37298_1410438994531_7754809_ntext dan foto by Dodi Rokhdian

Dua bulan telah berlalu, alhamdulilah gak ada muntah-muntah dan mual-mual , itu karena memang saya bukan seorang perempuan yang memasuki usia kehamilan tapi sedang memasuki bulan ketiga penelitian. Besok jam 9 pagi saya berangkat menuju sebadak raya lagi, kangenkah pak sekdes pada saya? apakah dia masih mengingat pelajaran bahasa spanyol dari minggu yang lalu? Saya berharap dia semakin mahir mengucap sombrero dan beragado, pak sekdes engkau memang sekretaris desa dan janganlah engkau menganggap perintah camat sebagai tindakan sewenang-wenang seorang atasan pada anak buah. Ingat pak sekdes, tugas adalah tugas, bukan untuk surga atau neraka, tapi demi tanah tumpah darah desamu : sebadak raya.

Semestinya pak sekdes menelpon saya, untuk janjian ketemuan dan menjemput saya, di kota kecamatan terdekat lalu bersamanya kembali ke sebadak raya. Sekdes biasanya akan telpon pada sebuah bukit yang jauhnya 6 km-an dari desa, tempat yang menjadi sarana warga mengakses sinyal henpon : Bukit Cundai namanya bukan Sarinah. Di Bukit Cundai itulah informasi diperoleh atau berita dikabarkan warga dengan berbagai cara dan gaya. Jongkok atau berdiri, berbisik-bisik atau teriak, itu terserah, karena seseorang akan seolah berbicara pada ‘benda’ bernama henpon dan mendengar dari benda yang berwujud henpon pula.

Diluar bukit cundai henpon hanya dibawa-bawa saja oleh warga sebagai simbol dan tanda seseorang memang tidak ketinggalan jaman. Lihatlah itu (sebulan lalu) seorang remaja bernama ‘tebung’, henponnya-henpon RRC, mereknya merek Nexian, dipegang dan terus diulang-ulang membunyikan sebuah lagu yang lagi hit di sebadak raya “ …. Namanya satu ciiiinta, namanya satu ce i en te a ,….”. Atau lihat itu si Acuy, anak toke keturunan tionghoa dan dayak paling kaya di sana, lagunya-lagu egois, yang hanya ia saja yang mendengar karena ia pake headset, oh la-la saya tahu apa yang ia dengar, karena Acuy berjalan-jalan sambil berdendang,” .. pagi-pagi nyabu, siang hari nyabu … enaaak sekali, sabuuu … yeh sarapan bubur ..” Teriak Acuy yang bukan suracuy nama belakangnya.

Memang warga sedang demam henpon sejak sinyal melintas dibukit Cundai, dan tak perlu tahu bagaimana ceritanya, di memori henpon K-Touch si Acuy ini saya dapatkan adegan-adegan Ariel dan Luna serta Ariel dengan Cut Tari. “Mau lihat ndak, atau donlod?” Katanya sambil alisnya naik turun . Saya yang sedang menyandang gelar peneliti dari Puska UI ini jelas menjaga image, meski sebenarnya penasaran tentang apa adegan yang dilakukan Ariel Peterpan ini, katanya sih penuh adegan Suuur …

Surabi-kah? Masa Luna atau Cut atau Ariel jualan surabi, gak mungkin kan? Tapi biarlah penasaran itu dipendam saja, pada Acuy saya bilang begini,”aduh nanti aja bro, saya sedang fokus penelitian nih,” Jawab saya penuh ketegaran sambil sebenarnya ingin tahu adegan apakah yang dipertontonkannya.

“Kringggg … kringggg … “ Itu telpon di kamar hotel 201 tempat saya nginap berdering nyaring bunyinya, saya angkat, oh kordinator lapangan cahyo nyuruh naik ke kamarnya, untuk urusan-urusan dana operasional besok,”Dodi naik ke atas, sebentar” Katanya nyuruh ke kamarnya lewat tangga hotel bukan nyuruh saya naik memanjatnya. Sebentar di kamar cahyo, itung-itung duit lapangan, lalu saya turun kembali, menuju tempat dimana saya bisa Facebook-an untuk sekedar memberi tahukan dan menulis update bahwa saya baik-baik saja dan selalu merindu dan kangen band padanya.

Siapakah di yang beruntung dikangenin saya itu? Dia itu seorang perempuan yang senyumnya selalu terkembang dan amatlah manisnya, meski selalu terjepit di saku belakang bersama KTP, SIM, ATM, Kartu NPWP, dan uang tentunya yang tak begitu banyak tapi cukuplah untuk sekedar membahagiakannya.

Oh uang, oh senyum manismu itu di dompet, apakah engkau akan tetap manis walau tak ada uang di kantong abang ini?

(2010)