Suara gruduk-gruduk menemani perjalanan kereta ekonomi siang itu menuju Surabaya. Hawa panas dari siang yang terik hampir tak terusir oleh kipas angin reyot di langit-langit gerbong. Entah sudah berapa kali penjaja menawarkan es sirop yang menggoda, seperti meledek mereka yang tak punya duit. Inginnya tidur, tapi sudah kebanyakan.
“Bar mawa duit sabaraha tour of duty ayeuna,” tanya Adjat lirih.
“Dua ratus rebu, ngan sawareh geus kapake tiket jeung logisitk..cukup moal nyak?”
“Urang oge sakituan..sugan weh cukup,” ujar Adjat mencoba tenang tapi dengan nada masygul.
“Sarua.” Dodi berucap pendek lalu melamun lagi, yang lain juga bernada sama.
Libur semester genap 1993. Kali ini mereka bertujuh Wawan, Dodi, Bar, Adjat, Luthfi, Triyanto dan Ririn. ‘The pack’ sedang mengincar koleksi puncak-puncak di Timur yaitu Tambora, Rinjani dan Semeru dengan prediksi waktu sekitar sebulan lebih, termasuk waktu pemulihan di Surabaya. Wajar saja menganggarkan waktu begitu lama sebab dengan semua tiket berkelas paling dasar, baru seminggu kemudian mereka akan tiba di dusun Pancasila, tempat akan mulai mendaki gunung Tambora. Seusai Tambora barulah ke Rinjani lalu terakhir Semeru.
“Urang ngan mawa saratus rebu euy…” akhirnya Triyanto mengaku.
“wah, moal cukup atuh sakitu mah..”
“Urang wae dua ratus teuing cukup atawa henteu.”
“Kumaha atuh?” Tri resah.
“Teuing,”
“Ulah nginjeum ka urang.”
“Sorry teu bisa nulungan.”
Diserang bertubi-tubi tanpa empati, pertahanan Triyanto menjadi tak pede. Tadinya ia berharap bisa sedikit merapat ke devisa rekan-rekan yang lain. Tapi apa mau dikata begitulah gaya pergaulan mereka, bagi yang tak biasa mungkin terlihat keras. Seperti sekawanan serigala, keluar akan membela namun didalam bisa mengakali. Homo homini lupus, namun ikatan emosional yang aneh itu langgeng hingga kini.
“Meni embung nulungan..,” Triyanto kesal, “nya enggeus engke mun teu cukup mah urang ti Rinjani rek balik we moal milu ka Semeru..ke we lalajo di bioskop film 5 cm”
“Nya kumaha maneh eta mah, Tri,” yang lain cekikikan. “tapi duapuluh taunan deui film eta mah tayang na.”
Triyanto akhirnya harus rela tak melanjutkan cita-citanya mendaki Semeru karena anggaran defisit. Namun kebiasaan bertualang dengan dana pas-pasan seterusnya menjadi kebiasaan bahkan prosedur tetap diantara mereka. Kalau menunggu dana mumpuni mungkin tak pergi-pergi jadinya.
Dua puluh tahun kemudian, ketika arus petualangan sudah bergeser ke negeri orang hal itu tetap dilakukan. Bahkan mungkin gaya irit itulah yang membuat mereka bisa melakoni petualangan ke luar perbatasan negara. Disaat orang lain merasa tak mungkin pergi dengan budget sedemikian, mereka memilih mengakalinya. Destinasi tak bisa dikompromikan, namun kenyamanan tentu bisa dinegosiasikan. Selama kondisinya tak lebih buruk dari diklat, semua telah lebih dari siap melakoninya. Termasuk siap dipulangkan, bila dana tak cukup.