Memberdayakan Pedagang Kaki Lima di Bandung

pklby Firkan Maulana

Jumlah pedagang kaki lima (PKL) di Bandung saat ini disinyalir semakin membengkak. Saat ini, ada kecenderungan bahwa PKL di Bandung menunjukkan perkembangan yang tidak terkendali. Indikasi itu bisa dilihat dari jumlah dan jenis komoditi PKL yang semakin bertambah, munculnya daerah-daerah konsentrasi baru PKL dan pinggiran jalan tertentu yang mulai dipadati oleh PKL menetap. Sebuah surve penelitian pada 2000 mencatat bahwa jumlah total PKL mencapai 21.459 PKL (Suriansyah, 2002).

Ruang-ruang terbuka yang terdapat di Bandung yang peruntukkannya telah ditetapkan sebagai ruang publik, secara perlahan mulai diduduki oleh para PKL. Kondisi tersebut bisa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang yang ada di Kota Bandung secara keseluruhan. Kualitas lingkungan kot tampak menjadi kumuh dan semrawut. Arus lalu lintas di jalan menjadi macet karena badan jalan seringkali dipakai PKL berjualan.Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung sendiri telah berupaya untuk menangani perkembangan PKL yang semakin pesat ini. Salah satu upaya yang dilakukan adalah program penertiban. Program ini dimaksudkan untuk mengembalikan ruang publik Kota Bandung kepada fungsinya yang semula dan menjaganya dari kegiatan yang bukan peruntukkannya. Program penertiban PKL yang saat ini tengah gencar dilakukan adalah di tujuh titik strategis Kota Bandung, yaitu di kawasan Alun-alun, Jl Dalem Kaum dan Jl Dewi Sartika, Jl Kepatihan,Jl Asia Afrika, Jl Otto Iskandardinata, Jl Jend Sudirman dan Jl Merdeka.

Upaya program penertiban PKL itu sebenarna sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Sayangnya realisasi program penertiban PKL tersebut menunjukkan hasil yang kurang efektif, baik dalam mengendalikan perkembangan dan kegiatan PKL maupun dalam meningkatkan kualitas ruang publik Kota Bandung.

Kalau boleh jujur, hasil penertiban PKL oleh Pemkot Bandung hanya efektif untuk sementara waktu. Efektivitas yang hanya sejenak itu dikarenakan tak lama kemudian para PKL kembali menggelar dagangannya.

Tentu saja untuk melakukan penertiban yang terjadwal dan rutin, dibutuhkan pengerahan aparat secara terus menerus yang biayannya besar dan memakan banyak energi serta waktu. Ketidakefektifan tersebut bisa dilihat juga dari tidak jelasnya tindak lanjut penertiban tersebut Berdasarkan hal tersebut, banyak kalangan merasa pesimis dengan program penertiban PKL yang saat ini tengah dijalankan.

Sementara itu Walikota Bandung Dada Rosada (Pikiran Rakyat, 10/1/2004) mengatakan bahwa Pemkot Bandung punya konsep yang jelas dalam menata PKL. Di antaranya, dengan membangun tempat penampungan PKL di Ciroyom dan Gedebage. Rencananya, sebuah gedung akan dibangun dengan menyediakan lahan seluas 16.000 m2 untuk menampung para PKL. Namun apakah upaya ini akan berhasil ?

PKL yang digolongkan sebagai salah satu pekerjaan di sektor informal, selama ini, belum terwadahi dalam kebijakan pembangunan kota yang menyeluruh. Kalau dicermati lebih teliti tampaknya rencana tara ruang kota ataupun program pembangunan kota, belum memberikan tempat bagi ruang gerak aktivitas ekonomi golongan kecil seperti PKL. Malah, sepertinya rencana tata ruang kota dan pembangunan perkotaan lebih berpihak pada kepentingan sektor formal karena mampu memberikan kontribusi pendapatan asli daerah (PAD).

Karena itu, tak heran kalau Pemkot Bandung memberikan perlakukan istimewa dengan mengubah peruntukkan lahan demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Saat ini, bisa dilihat di kawasan Dago atau Martadinata yang peruntukkan lahannya bagi pemukiman, perkantoran dan pendidikan, kini fungsinya telah berubah atau bertambah menjadi pusat kegiatan ekonomi. Yaitu bertaburannya toko-toko pakaian (factory outlet).

Selain itu hampir di setiap penjuru Kota Bandung mulai banyak bermunculan gedung-gedung pusat perbelanjaan baru yang modern. Di sisi lain, keberadaan para PKL malah cenderung dipandang sebelah mata. Pengelola kota selalu meremehkan dan mengabaikan para PKL. Para PKL dianggap telah merusak keindahan dan ketertiban kota.

Para PKL lebih sering dikejar-kejar lalu digusur daripada dianggap sebagai potensi ekonomi kota. Kalau PKL dilihat sebagai potensi ekonomi, maka sudah selayaknya mereka dibina dan diberdayakan agar berkembang. Tujuan penertiban PKL yang hanya berorientasi pada pembenahan fisik lingkungan suatu ruang publik di kawasan kota selama ini terbukti seringkali menemui kegagalan.

Perlu ada upaya komprehensif untuk mengalokasikan tempat-tempat usaha bagi para PKL secara merata di lokasi-lokasi strategis setiap pelosok Kota Bandung. Pemkot Bandung harus mempunyai paradigma pembangunan perkotaan dengan memandang keberadaan PKL beserta pertumbuhan populasinya, perkembangan kegiatannya dan potensinya yang belum tergali. Hal tersebut akan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kualitas lingkungan ruang-ruang publik khususnya dan umumnya pada pembangunan perkotaan Bandung sendiri.

Upaya yang diperlukan untuk mewujudkan permberdayaan terhadap PKL di Bandung, adalah (1) menurunkan atau menghindarkan intervensi kebijakan pembangunan kota yang bisa mematikan para PKL, (2) memanfaatkan lahan-lahan milik negara yang tak terpakai untuk lokasi berjualan para PKL, (3) merehabilitasi lokasi-lokasi berjualan para PKL dan (4) mengembangkan kemampuan aparat pengelola kota untuk memahami dan mengerti arah pemberdayaan PKL yang terkait dengan pengembangan Kota Bandung ke depannya.

Hal penting lainnya untuk memberdayakan PKL adalah mengembangkan skema kontrol dengan menyiapkan peraturan daerah tentang PKL. Perda itu merupakan produk hukum yang memayungi keberadaan PKL, yang secara khusus mengatur, membina dan memberdayakan PKL. Perda itu mesti terwadahi sistem insentif dan disinsentif.

Sistem insentif ini contohnya seperti adanya aturan lokasi berjualan, aturan waktu berjualan dan sebagainya. Inti sistem insentif ini bertujuan untuk merangsang para PKL tertib dalam berjualan. Sistem disinsentif contohnya berupa pembatasan jumlah PKL di suatu lokasi dengan retribusi yang sangat mahal. Pada pokoknya sistem disinsentif ini bertujuan untuk mengekang atau membatasi perkembangan PKL agar lebih terkendali.

Faktor penting untuk menjalankan sistem insentif dan disinsentif ini adalah pada penegakan aturannya yang jelas, tegas dan konsisten. Jadi, kalau ada pelanggaran-pelanggaran tentunya harus diberlakukan sanksi yang tegas. Selama ini pemerintah terkadang tidak tegas menegakkan aturan-aturan yang mereka buat, bahkan lebih parah lagi tidak ada kekompakkan antar unsur pemerintah dalam menjalankan peraturan tersebut.
Tantangan bagi Pemkot Bandung untuk mewujudkan pemberdayaan PKL tentunya tidak mudah. Namun tidak usah berkecil hati karena ada juga pengalaman menata PKL di Bandung yang realisasinya baik dan bisa menjadi teladan. Contohnya relokasi PKL Jl Dalem Kaum ke Pasar Kota Kembang (1970-an), relokasi pedagang makanan di Jl Supratman ke sekitar Taman Cilaki (1986) dan kini berkembang menjadi obyek wisata kuliner di Kota Bandung serta revitalisasi Pasar Loak Cihapit (1986).

Tampaknya akan lebih menarik jika Pemkot Bandung bisa mencari cara-cara kreatif dan cerdas seperti contoh penataan PKL di atas. Perlu dicatat hal-hal yang mempengaruh penataan PKL adalah aksesibilitas konsumen yang dapat menentukan bobot strategis suatu lokasi.

Pemkota Bandung beserta para perencana kotanya harus lebih imajinatif dan kreatif menciptakan ruang-ruang usaha ekonomi rakyat kecil seperti PKL ini dengan melahirkan lokasi-lokasi usaha yang lebih transformatif. Contohnya adalah seperti membuat Pasar Loak (flea market), kawasan pedestrian malls, pasar raya (festival market place) dan sebagainya. Lokasi-lokasi PKL seperti ini harus diupayakan nyata wujudnya dengan mempertimbangkan keterjangkauan konsumen dan lokasi yang strategis.

Karena itu ke depan, alasan utama penertiban PKL bukanlah untuk menciptakan keteraturan pemanfaatan ruang publik dan peningkatan estetika kota semata, melainkan juga harus menyentuh pada upaya-upaya peningkatan pemberdayaan PKL secara lebih serius. Sekarang ini sudah bukan zamannya lagi, para PKL diuber-uber lantas digusur. Sudah saatnya para PKL harus diberi tempat yang layak di Kota Bandung.

(Firkan Maulana, antropolog dan urban/spatial planner, tulisan ini dimuat di harian Repbulika rubrik Kalam Jabar pada Rabu, 28 Januari 2004).