Udara malam yg dingin menggigit di pelataran toko buku Ultimus, justru tidak membuat menggigil, karena kehangatan suasana yang sedang berlangsung antara saya & dua org saudara saya yang salah satunya sudah lama tidak bersua.
Obrolan demi obrolan mengalir begitu hangat dari mulut seorang saudara saat topik pembicaraan menjurus kepada kegiatan dia yang sudah tidak digelutinya lagi. Sebuah perbincangan yang membuka cakrawala saya tentang kehidupan yang selama ini terabaikan malah mungkin tidak dihiraukan.
“Saya hanya ingin rakyat tau tentang haknya sebagai warga negara, tidak lebih tidak kurang, hanya itu” Itulah celoteh yg keluar dari mulut saudaraku. Sebuah ungkapan yg bagi saya khususnya belum atau bahkan mungkin tidak terfikirkan.
Tapi bagi saudaraku yg satu ini, hal itu merupakan “Jalan hidupnya” atau “pilihan” nya. Dia rela mendedikasikan apa yg dia dapat selama dia bekerja untuk mewujudkan cita2nya itu yang bagi sebagian org bahkan saya jauh dari peraihan materi yang berlebih.
Dia rela bolak balik ke tempat terjauh di kepulauan Indonesia hanya untuk mewujudkan cita2nya. itu.
Pandangan saya thd dia tentang fahamnya, ideologinya yang dulu sangat antipati, sedikit berubah menjadi simpati walaupun tidak harus sejalan. Kemauannya dalam memperjuangkan cita2nya untuk org di luar dirinya membuat saya kagum.
Saya mengenal saudaraku tersebut sejak masa kuliah dulu ketika kami sama2 beraktifitas di sebuah unit kepecintaalaman. Saya mengenal saya sebagai sosok yang idealis, karena sosoknya yang keras & berkarakter, maka selain dia mempunyai banyak teman tetapi sekaligus dia juga mempunyai banyak “musuh”.
Ke-interest-an & keidealisannya dalam dunia humanis sudah terlihat dari sejak saat itu. Awalnya saya meragukan keidealisannya, karena menurut saya idealisme seseorang yg saat itu nota bene adalah seorang mahasiswa dapat teruji setelah orang tersebut terjun di “dunia nyata”.
Tetapi tidak bagi dia, hingga saat malam itu dia adalah masih merupakan sosok yang saya kenal dulu. Sosok yang masih memegang teguh fahamnya.
Beberapa cangkir kopi pahit yang menemani kami yang kini tinggal ampasnya & batangan puntung rokok yang tertumpuk di dalam asbak seolah mengingatkan saya untuk segera pulang. Dan akhirnya perbincangan yang sesekali diselingi senda gurau itu akhirnya selesai.
Saya pulang dengan mendapat sedikit “pencerahan” tentang saudaraku itu, tentang apa yang dicarinya, tentang apa yang diperjuangkannya. Dan dalam hati saya pun berkata, teruslah mencari saudaraku, sampai engkau mendapatkan sebuah titik yang kamu anggap “benar !”
Saudaraku..saya sadar, hidup ini adalah sebuah proses pencarian, sebuah perjalanan yang ujungnya kita sendiri yg menentukan…teruslah berjuang saudaraku…
Kamis, 29 Oktober 2009
Di pelataran Ultimus…