Alkisah suatu waktu pada bulan Desember di rimba gunung Burangrang, tempat dilakukan diklat PLW yang kesekian kali. Sejak awal suasana kali ini berbeda dengan diklat-diklat sebelumnya. Ada semacam ketegangan, rasa resah yang membayangi dan mempengaruhi emosi setiap orang. Ironis, karena kebanyakan pelatih kini dalam masa ‘prime time’ nya, setidaknya sebagian besar sudah berkecimpung dalam 3-4 diklat terakhir. Harusnya semua berjalan ‘smooth’ seperti diklat-diklat sebelumnya.
Setelah longmarch dari kampus, rombongan nge-camp di kaki Burangrang. Longmarch yang panjang ini cukup menguras fisik dan emosi. Baru keesokan paginya rombongan siswa tiba di tempat yang dituju. Itupun setelah dibantu evakuasi colt buntung menjelang dini hari, karena kondisi siswa sudah ‘habis’.
Di basecamp friksi-friksi yang sebenarnya biasa saja bisa meruncing tak terkontrol. Dalam evaluasi pelatih, debat yang panas terhenti kala sebuah piring seng tiba-tiba saja melayang ke tengah ..BELENTRANG!.. tumpukan nesting saling beradu..semua terkejut. Hawa malam di Burangrang dingin tapi suasana evaluasi panas. Padahal baru hari pertama camp. Lalu hening..
“Baiklah masalahnya kita petieskan dulu.. baiknya istirahat sudah malam,” serta merta Bar menutup evaluasi malam itu, langsung meloncat ke tenda dome. Tak lama kemudian zzzz..zzz basecamp perlahan-lahan hening…
Baru beberapa jam tidur, sekitar pukul lima saat suasana masih gelap keributan terjadi diluar. Entah apa sebelumnya yang terjadi.
“AYEUNA GEUS KUDUNA BINJAS..” menggeram Bais pelatih binjas.
“TAPI MATERI URANG CAN ANGGEUS..” hardik dansis Sadikin.
“MANEH TEU NGAHARGAAN URANG..?”.
“TERUS MANEH REK NAON..”
Pelatih-pelatih lainpun bangun menengahi dua petarung yang sedang emosi ini. Setelah ditengahi , evaluasi mendadak masalah materi digelar jelang terbit matahari. Jrit, gumam Bar dalam hati, tunduh kaneh.
Kesiswaaan dan Binjas pun saling mengutarakan argumennya dengan panas, sementara pelatih lain menahan kantuk. Setelah cukup mendengar perdebatan dari kedua sisi, Bar berujar pelan “Baiklah masalahnya kita petieskan saja dulu” lalu masuklagi ke sleeping bag. Yang lain meneruskan tidurnya. Bais dan Sadikin saling berpandangan, tapi emosinya sudah mereda. Gelo siah, keduanya senyum-senyum sesudahnya.
Di Pawon, suasananya tak berubah. Ayung sebagai Tatib mendebat keras kesiswaan yang dianggapnya terlalu memihak siswa. Tentu tudingan ini membuat kesiswaan berang, Dansis pun unjuk gigi. Terra sebagai dantatib ikut tersengat. Evaluasi kembali panas membakar. Danlat dijabat Adjat, hampir selalu tak di medan operasi karena mengurus berbagai administrasi yang memang urgent di kampus, wadanlat pun katempuhan.
Garelo ieu barudak teh getreng wae.., keluhnya dalam hati. Setelah kedua belah pihak mengutarakan uneg-unegnya masing-masing, Bar kembali ke posisi favoritnya.
“Baiklah masalahnya kita petieskan dulu..”
Kumaha, Ter, bisik Ayung pada Dantatib abadi.
Yaa, kita lihat saja nanti, bisik Terra.
Danau Patengan merupakan medan operasi berikutnya dimana siswa melakukan materi penyeberangan basah. Disini seorang siswa kembali dipulangkan.
“Kumaha, kondisi MO euy? tanya Adjat.
“Gelo diklat ayeuna mah getreng wae,” keluh Bar.
“Enya kunanon nya?” lalu Adjat bergumam tak jelas, tapi keduanya telah sepaham dengan kewajiban masing-masing. Sepaham untuk sama-sama haroream. Keep calm, udud we heula, begitu filosofi Adjat.
Evaluasi malam, wadan pasrah bila harus kembali melerai. Benar saja. Keributan antar pelatih operasional di pagi hari saat materi penyebrangan basah terbawa pada evaluasi malam itu. Bukan kesiswaan, tatib atau binjas. Tapi antar pelatih operasional dor-dar. Setelah semua keluarkan emosi, kalimat “Baiklah masalahnya kita petieskan dulu..” kembali keluar.
Moal dibahas deui evaluasi kamari, bisik Ayung kepada Terra.
Teuing atuh teu puguh, dipetieskan wae, gumam Terra juga tak puas.
Menjelang pelantikan , rombongan telah tiba di Punclut. Pelantikan tinggal bebarapa jam lagi, tapi tak membuat suasana lapangan menurun tensinya. Kesiswaan rupanya tak terima melihat cara pelatih dan tatib membangunkan siswa dan Flora pun menghardik keras tatib. Saling adu argumen pun sengit mewarnai pagi. Keributan sampai pula ke wadan, lalu berpesan “..masalahnya kita petieskan dulu..tinggal beberapa jam lagi pelantikan”. Lantas ngacir ke kampus bersiap gladi resik.
Beberapa personil ditarik ke kampus, membantu persiapan. Ayung termasuk yang diperbantukan menyambut siswa di seputaran kampus. Walau selalu disiplin keras terhadap siswa, rasa sayangnya pada siswa tak kalah oleh pelatih lain. Setelah siswa direndam di Cikapundung, tugas sucinya adalah membeli bubur di simpang Dago. Hampir tak beristirahat mengaping siswa, debat antar pelatih dan tensi jelang pelantikan membuat tekanan tak tertahan. Amarahnya meledak kala tukang bubur ogah-ogah membuat pesanan nya. Maklum, pesannya sebanyak jumlah siswa, dengan anggaran seporsi nya 500 perak.
“MANEH TEH LOBA GAYA PISAN..HAYANG DIGULINGKEUN “ Ayung mengamuk bersiap menggulingkan gerobak bubur. Beberapa tukang ojek sigap melerai.
“MANEH ANYAR DIDIEU..? TEU APAL KA AING?” emosinya yang tertahan selama dua minggu masih meledak.
“Punten..kang..punten..muhun..muhun,” tukang bubur newbie ini pun lantas menyiapkan pesanan buat siswa. Perut siswa pun terselamatkan.
Pelantikan pun digelar, bersama dengan semua kebesarannya. Inilah titik kulminasi dari semuanya. Para pelatih berbaris rapi dengan seragam kebanggaan, terharu biru menyambut adik baru. Barisan biru langit dengan syal kuning, hati siapa yang tak berdesir melihat kegagahan yang anggun itu. Seperti langit biru yang tenang tapi bisa memuntahkan petir.
Tiba-tiba sekelebat rasa haru yang tak biasa muncul pada sebagian besar pelatih. Melihat ke sisi kanan kiri, ke depan semua adalah sahabat terbaiknya. Betapa bangga ia pada para kamerad di sekelilingnya, betapa ia bangga telah menjadi bagian dari mereka. Dan tiba-tiba betapa sedih ia akan berpisah dengan para sahabatnya. Sebagian besar maphum bahwa ini adalah diklat terakhir mereka. Tak disadari sebuah rasa kering menjalar di tenggorokan, sedih yang hampir tak tertahan. Mereka ingin berlama-lama dimomen ini, namun tak bisa melawan waktu. Itulah yang membuat sedih. Lalu marah. Bagaimanapun darah muda menggelegak di tubuh mereka.
Sadarlah mereka, ternyata emosi yang mudah meledak selama ini sebagian karena rasa sedih yang menghujam karena akan berpisah dengan para sahabat. Siapa yang tak sendu bahwa inilah momen terakhir mereka bersama. Diklat depan ia mungkin tak lagi ada diantara mereka, atau mereka tak ada lagi kala ia datang. Langit yang cerah terasa suram, kekosongan menyelinap di relung hati.
Beberapa bulan setelahnya, Bar orat-oret di buku curhat sekretariat. Dulu ada sebuah buku tempat siapapun bisa menulis uneg-unegnya “…tak akan pernah bersama-sama lagi…tak akan ada lagi petualangan menembus cuaca ekstrim di puncak-puncak nusantara seperti Kerinci, Semeru dan Latimojong. Tak ada lagi penyeberangan heroik di muara Sancang atau Ujung Kulon dan takkan ada lagi manuver yang mendebarkan di sungai.. it’s an honor..”
Wawan sangat paham maksudnya. Ia ada di beberapa tempat yang ditulis itu, lalu menghela nafas panjang. Tak akan lagi laga el clasico bersama the dream team, gumamnya dalam hati. Diklat berikut ia menjabat danlat, dan betapa sendu harus membayangkan sebagian besar ex-pelatih diklat ini akan surut. Hampir 80% pelatih diklat SH tak lagi ikut serta di diklat berikut. Ini cukup menyakitkan..sakitnya tuh disini… Walau beberapa masih bertahan dan barisan pelatih baru siap mengganti, semua tak lagi sama. Tapi ia paham, bahkan sangat mendukung keputusan para sahabat terbaiknya. Wawan mengangguk pelan-pelan. Entah apa yang ada di benaknya, teriakan Abul menagih kueh yang dimakannya dua hari lalu seakan tak terdengar. Ada rasa kosong, hanya sebentar, lalu berganti lapar. Wawan pun ngeloyor ke bu Tunduh.