Ekspedisi Poligon ’99 : Mengibarkan Merah Putih di Tanah Rencong

leuser

“Aku percaya bahwa alam memiliki pelajaran dan dapat mengajar kita. Karena itu, aku yakin bahwa gunung merupakan sekolah terbaik bagi manusia. Karena seorang pendaki gunung sejati hanya berjuang menaklukkan diri sendiri” – Walter Bonatti
by Riza fahriza

Hal ini dirasakan oleh penulis, saat mengikuti Ekspedisi Poligon’99 bersama Kopassus. Dengan target pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih tepat pada tanggal 17 Agustus yang sekaligus juga untuk merayakan hari kemerdekaan di Puncak Loser (3404 mdpl), Aceh. Jalur ditempuh dari Ds.Peulumat, Tapak Tuan, Kab. Aceh Selatan dan turun dari sisi tenggara melalui Kutacane, Kab. Aceh Tenggara. Dan semua itu memakan waktu 27 hari.

Singkat cerita, penulis yang merupakan utusan dari Palawa Unpad bergabung bersama rekan-rekan perwakilan Mapala Se-Indonesia (Mapagama UGM, Mapala UI, Aranyacala Usakti, Ranita IAIN Jakarta, Mapala IKIP Jakarta, Impeesa STIE Perbanas, Mapalaya Univ. Jayabaya, Girigahana UPN Jakarta, dan STMIK Jakarta) serta 5 orang anggota Kopassus, ditambah 2 orang anggota Intel Kodim Tapak Tuan dan 1 orang Pawang, Pak Hamid (75), tiba di Tapak Tuan, Kab. Aceh Selatan.

Perasaan plong mulai timbul setelah seharian penuh harus melalui rute membelah hutan Taman Nasional Gunung Loser. Bukan apa-apa pikiran ini sudah terkontaminasi akan berita-berita media massa, perihal seringnya pencegatan oleh GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Selain itu, kendaraan yang ditumpangi berplat militer yang pasti akan menjadi target point penyerangan.

Sampai-sampai pihak Kopassus memberikan cara taktis menghindari serangan bersenjata, yaitu harus merebahkan diri di lantai bus. “Busyet, gue harus telungkup. Bagaimana kalau GAM menyerangnya pake bom, matilah gue,” ungkap salah seorang Mapala yang merasa geli mendengar anjuran tersebut.

Tiba-tiba saja dada berdegup kencang, saat di tengah jalan ditahan beberapa orang prajurit yang lusuh plus bersenjata lengkap. Namun syukur saja, mereka itu bukan GAM melainkan pasukan TNI AD yang sedang patroli dan hendak nebeng apabila kendaraan yang ditumpangi oleh tim akan balik ke Medan.

Selama di Tapak Tuan pun, seluruh anggota tim dilarang berjalan-jalan atau keluar dari Kodim setempat. Alasannya kondisi keamanan yang masih rawan, selain itu pula dilarang menggunakan kaos tim yang berlogokan lambang Kopassus.
Meskipun demikian, pikiran masih tetap tidak tenang dan waswas apabila terjadi penyerangan. Selain itu, terkadang membayangkan bagaimana kalau saat mendaki harus bertemu GAM dan sampai kontak senjata.

Awal pendakian dimulai dari Ds. Peulumat , Dusun Gunung Rotan. Sebelumnya kami harus meminta izin kepada sesepuh masyarakat setempat. Dan ia memerintahkan kami untuk melakukan upacara dahulu dengan berdoa di Makam Teungku Peulumat dan Teungku Padang Ganthiang, agar dalam perjalanan nanti mendapatkan selamat. Dan uniknya seusai berdoa diwajibkan untuk mengambil batu dari makam serta harus selalu dibawa kecuali saat buang air besar atau kecil.

HAMBATAN DI PERJALANAN

H2, rute masih tampak jelas yang sering dipakai penduduk setempat untuk mencari rotan. Perasaan waswas muncul kembali, setelah salah seorang penduduk yang sempat ditemui mengatakan satu minggu lalu sempat berpapasan dengan rombongan T.Bantiqiah yang berjumlah 40 orang bersenjata lengkap. Bukan apa-apa dikhawatirkan akan terjadi kontak senjata, meskipun dari pihak Kopassus bersenjatakan lengkap perasaan waswas tetap saja ada. Terlebih lagi tim utusan Mapala yang tidak memiliki senjata apa-apa, kecuali golok tebas.

Untung saja, kejadian ini tidak terjadi namun komandan tim memberikan saran kepada seluruh anggota tim tidak terlampau banyak bicara. Selain itu tim juga diperintahkan untuk melakukan ronda setiap malam secara bergiliran dan dilarang menggunakan senter secara berlebihan, juga merokok. Alasannya karena lokasi kita merupakan daerah operasi.

H3, hambatan mulai ditemui yaitu tersesat. Hal ini berkaitan dengan perjalanan H2 yang sempat menemui percabangan dan menjadi perdebatan sengit antara wakil komandan dan pawang. Solusinya, yaitu mengikuti langkah si pawang yang dipercaya telah pengalaman dengan 5 kali mendaki. Wallahu ‘Alam. Tenggorokan terasa tercekik karena kehabisan air minum. Dalam kondisi demikian, dicarilah sumber air dengan turun ke cerukan sekaligus mencari lokasi camp H2.

Keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dengan dipimpin pawang namun setelah usut punya usut ternyata jalur yang dilalui adalah jalur kemarin. Kenyataan ini dapat diberitahukan pada pawang namun ia tetap keras kepala bahwa jalur tersebut adalah jalur yang benar. Perdebatan muncul kembali, terkadang muncul perasaan sangsi apakah dapat menaklukkan puncak Loser. Baru beberapa hari saja sudah tersesat.

Keesokan harinya, perjalanan dilanjutkan dengan dipimpin pawang namun setelah usut punya usut ternyata jalur yang dilalui adalah jalur kemarin. Kenyataan ini sempat diberitahukan pada pawang namun ia tetap keras kepala bahwa jalur tersebut adalah jalur yang benar. Perdebatan muncul kembali, terkadang muncul perasaan sangsi apakah dapat menaklukkan Puncak Loser. Baru beberapa hari saja sudah tersesat.

Setelah sempat berputar-putar seharian maka dicoba untuk kembali lagi ke jalur semula atau kembali ke lokasi percabangan. Benar saja jalur yang kemarin memang salah dan seharusnya mengkuti jalur sebelah kanan. Hal ini terbukti ditemukan ‘string line’ bekas anak Stupala, Univ.Borobudur.

H6
PERJALANAN dilanjutkan hingga G.Rotan. Benar saja nama ini sesuai dengan kondisi medan yang banyak rotan sehingga lengan mengalami “baret – baret” dan beberapa kali terdegar umpatan-umpatan. Terkadang kekesalan sampai mencapai titik nadir tatkala pakaian atau celana tersangkut rotan.

Selain rute yang ditempuh lumayan edan sampai-sampai harus memakai teknik ”ducking” atau “scrambling”. Kami juga harus membawa beban logistik yang lumayan berat plus kompan 5L berisi penuh air.

H7
PERJALANAN benar-benar bertambah berat. Rasa haus mulai mencekik kerongkongan. Sedangkan sumber mata air belum juga ditemukan. Karena sudah tidak kuat lagi menahan haus, tanpa basa-basi lagi, kami langsung minum air dari ‘kantung semar’ , ‘air lumpur’ atau ‘lumut’. Bahkan ide ini langsung ditanggapi dengan segera mengumpulkan air yang diperoleh ke dalam botol. Hal ini membuat perjalanan agak terhambat, karena sebagian anggota Mapala sibuk mengumpulkan persediaan air. Dan tak terasa pula, kami sudah sampai di G.Pilar I.

H8
DI tengah keasyikan mengumpulkan air dari ‘kantung semar’ tiba-tiba puluhan tawon menyerang secara membabi buta. Penulis hanya bisa menangkis sembari berlindung di balik ransel, tapi serangan “Haralom” tidak berhenti juga. Sehingga kami harus berlari pontang-panting , untung saja setelah melepaskan ransel serangan itu berhenti. Hampir sekujur tubuh dari kepala sampai kaki bengkak-bengkak dan tubuh pun terasa panas dingin,

Ternyata, kejadian ini bukan saja dialami oleh penulis namun hampir sebagian besar tim juga mengalaminya. Komandan Tim, Lettu.Inf. Kopassus Agus Sasmita pun terkena ‘serangan’ pada pelipisnya.

Kejadian tersesat kembali terulang di daerah G. Setan. Pergerakan sampai harus berputar sejauh 360 derajat, tapi anehnya tidak ada anggota tim yang merasakan kejanggalan akan hal tersebut. Yang lucunya, salah seorang Tim Advanced melaporkan bahwa di atas ada bekas bacokan pada pohon. Usut punya usut ternyata bacokan tadi adalah bekas bacokan kita sendiri 2 jam yang lalu.

Keesokan harinya musibah kembali terjadi di mana ‘Tim Advanced’ diserang puluhan tawon. Serangan ini membuat salah seorang anggota tim mengalami kondisi yang cukup parah.

Sabtu 14 Agustus 1999 tatkala sedang beristirahat, dari kejauhan terdengar raungan helikopter. Dan benar saja, heli datang tepat pada saat kondisi logistik mulai menipis. Raungan heli lumayan memekakkan telinga dan daun-daun pepohonan bergoyang cukup keras. Saat itu pula, kami harus mencari lokasi perlindungan yang representatif. Bukan apa-apa lumayan juga kalau harus tertimpa logistik yang cukup berat itu.

Tak beberapa lama kemudian, hujan turun dengan lebatnya dan terus menemani kami sepanjang perjalanan. Beberapa kali kami harus menyeberangi sungai yang berair cukup deras. Beban bawaan bertambah berat setelah turunnya hujan itu sehingga jarak antar-anggota mulai menjauh satu sama lainnya. Namun begitu hujan berhenti, untuk pertama kalinya kami melihat puncak G. Leuseur setelah sekian hari berjalan melalui berbagai bentukan alam plus kabut yang dengan setia terus menyelimuti.

Batas waktu untuk mengibarkan Sang Saka Merah Putih hampir habis, sedangkan perjalanan masih jauh. Pada tanggal 17 Agustus pun, kami masih dalam perjalanan. Namun semangat untuk menggapai puncak semakin bertambah tatkala melihat jenis tumbuhan yang mulai berganti.

Setelah melalui perjalanan yang di-push, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1999 kami tiba di puncak G. Loser. Hujan badai menyambut kami di sepanjang perjalanan saddle antara Puncak Loser dan Leuseur. Oh… ya…, saat tiba di Puncak Leuseur kami sempat berpapasan dengan rombongan lain yang memakai jalur dari sisi Tenggara.

Untuk perjalanan pulang, akhirnya diputuskan untuk mengambil jalur dari sisi Tenggara dengan asumsi akan lebih cepat sampai dan kondisi medan yang ringan. Namun pada kenyataannya, kondisi medan tidak kalah dengan jalur keberangkatan tim. Sepanjang perjalanan, hujan badai terus ‘mengawal’ kami dan otomatis daya tahan tubuh benar-benar diuji. Hampir seluruh pakaian cadangan basah kuyup hingga perjalanan pun terhambat.

Tak terasa, kami sudah mencapai hulu Sungai Alas. Namun di lokasi ini pergerakan terhenti karena banjir bandang sudah menghalang di depan. Dua hari lamanya kami tertahan dan kondisi logistik semakin minim.

Setelah berunding, karena alasan logistik yang semakin berkurang maka diputuskan tim akan mengirimkan ‘Tim Advanced’ yang bertugas mendrop logistik. Tim advanced yang dikirim terdiri dari 3 orang dari pihak militer dan 1 orang sipil (mapala).

Dalam masa penantian tim advanced itu, hujan badai seolah tidak mau berada jauh-jauh dari rombongan tim. Kami hanya diberi ‘bonus’ menikmati hangatnya sinar matahari pada pagi hari itu saja, itu pun hanya beberapa menit saja. Kondisi ini pula yang menyebabkan pergerakan semakin lambat, padahal menurut prediksi semula hanya perlu waktu selama 3 hari ini untuk turun dari arah ini.

Kondisi medan masih didominasi oleh padang sabana dan bebatuan. Dan mulai berganti dengan hutan yanng rotannya tidak separah di jalur Selatan. Tanjakan dan turunan maut pun mulai ditemui sehingga terkadang kami harus bergelantungan pada akar-akar pohon yang ada.

DISANGKA GAM
Penulis yang ikut dalam tim advanced pun harus berjuang mati-matian. Di satu sisi kami harus memikirkan kondisi anggota tim yang kekurangan logistik, di sisi lainnya kami pun harus memperhatikan kondisi tubuh sendiri karena memang perjuangan kami untuk memperoleh logistik merupakan satu – satunya jalan untuk keluar dari kesulitan tersebut.

Alhasil, di sepanjang perjalanan turun itu kami harus terus berlari terkadang harus sampai terjungkal demi mengejar waktu. Sampai di G. Pilar I, hujan badai masih tetap turun tapi kami seolah – olah tidak mengacuhkan kondisi yang ada. Padahal rombongan anak ITM sampai harus tertahan oleh kondisi cuaca seperti itu.

Tangan mulai berkeriput dan membiru. Sesekali tubuh ini nyaris terbawa angin badai yang bertiup cukup keras. Namun semangat mulai timbul kembali tatkala di kejauhan kami mulai melihat petak-petak rumah penduduk. Pergerakan terus di-push dan tak lama kemudian kami mulau keluar dari hutan dan masuk kawasan ilalang.

Malam pun tiba, kelap-kelip lampu membuat kepercayaan diri semakin tebal untuk mendekati perkampungan tersebut. Bersamaan dengan itu pula perut sudah mulai bernyanyi minta diisi ‘bahan bakar’.

Rasa percaya diri sempat menurun ketika kami merasa bahwa perkampungan yang dimaksud belum tercapai juga padahal jarak yang ditempuh sudah sedemikian jauhnya. Akhirnya begitu melihat pancaran sinar petromak dari rumah yang ada di lembah, kami langsung bergegas bergerak ke arah ‘cahaya kehidupan’ itu.

Begitu pintu rumah selesai diketuk, sang empunya rumah segera keluar lengkap dengan parang di tangannya. Rupanya kami disangka anggota GAM, sehingga pemilik rumah bersiap-siap ‘menyambutnya’. Setelah bernegosiasi, akhirnya beliau mempersilahkan kami masuk untuk beristirahat di tempatnya itu. Dari sang empunya rumah ini pula kami mencapai perkampungan terdekat, masih diperlukan sekitar 4 – 5 jam lagi.

Keesokan harinya setelah mengemasi logistik untuk anggota tim yang masih di atas. Penulis langsung naik kembali ditemani 2 orang porter. Selang sehari kemudian, kami bertemu dengan anggota tim lainnya.

Kami datang tepat pada saat kondisi tim ada dalam keadaan kritis karena kekurangan logistik. Kedatangan tim yang membawa logistik ini disambut anggota tim laksana seorang Santa Clauss.

Setelah cukup beristirahat, tim yang sekarang sudah lengkap mulai bergerak dengan semangat baru. Setelah membuka camp terakhir di puncak G. Pilar I, akhirnya pada tanggal 23 Agustus 1999, kami dengan selamat sampai di desa terakhir, yakni Desa Penosan, Kec. Kutapanjang atau Long City. Kedatangan kami langsung disambut oleh pihak Koramil yang merasa khawatir dengan kondisi tim.

Kekhawatiran mereka dipicu oleh pemberitaan beberapa media masa yang melansir mengenai hilangnya anggota Tim Ekspedisi Poliggon 99. Terlebih lagi ditambah dengan putusnya komunikasi jarena memang kondisi medan yang tidak mendukung.

Disalin dari Majalah Angsana edisi 1999 oleh Moreno A.A dan  Alika Fatimah Zahra