Firkan berjalan terhuyung-huyung hendak keluar dari kamar kabin . Kepalanya kleyengan, lama-lama tak kuat juga berada di kabin sempit saat ombak laut sedang tinggi. Lantai kamar sebagian tergenang air laut sehingga bau amis tercium oleh hidung.
“ Waduh..hayang utah euy..” ujar Firkan sambil berpegangan di pintu.
“Kade labuh ka laut, Kan,” pesan Bar singkat. Ombak memang sedang tinggi, sekitar tiga meteran.
Ia sendiri juga mulai pusing berada di dalam kamar kabin kapal. Tak lama kemudian terdengar hoeek..hoeek.. Firkan memuntahkan isi perutnya ke laut, sambil berpegangan dipagar kapal agar tak jatuh. Setelah habis muntahannya, ia merasa lebih lega. Dihirupnya hawa laut dalam-dalam.
“Bar…mening ka buritan we yu, lieur di jero kamar mah..” teriaknya dari luar. Bar setuju, di kamar hanya akan makin pusing terombang-ambing. Ia mengambil raincoat , diluar tentu angin basah akan segera menghempas, belum cipatan-cipratan ombak. Sambil berjalan terhuyung-huyung mereka menuju buritan, tempat awak kapal bersantai sambil mancing.
Ternyata disana sudah ada rekan-rekan lain; Adjat, Opik, Wilman, Akuy, dan Dudung. Semuanya memilih berada diluar kamar, daripada mabuk laut.
“Mening di dieu daripada Utah di jero,” ujar Akuy.
“Baelah baseuh saeutik, tapi hawa seger,” timpal Opik.
Dua hari yang lalu mereka masih berada di tepian muara Cikeusik, Ujungkulon, dalam perjalanan pulang menuju TamanJaya. Bulan Agustus 1992, setelah menuntaskan pengembaraan susur pantai ke tujuan terakhir yaitu mercusuar Tanjung Layar, misi mereka selesai dan mengevakuasi diri via pantai Selatan.
Namun muara yang tadinya ramah kala dilewati, kini jadi sangar dengan datangnya badai El Nino. Sehari semalam mereka bertahan menunggu badai reda, Namun bukannya mereda malah makin getol mengguyur hujan. Akhirnya diputuskan kembali kearah mercusuar Tanjung Layar, kebetulan kemarin ada kapal pengangkut logistic mercusuar berlabuh disana. Setelah mendrop logistic di Tanjung Layar, kapal KMP Panca Masa itu akan meneruskan ke Krui di Lampung Utara. Rencananya mereka akan menumpang kapal saja ke Krui , darisana pulang via darat ke Bandung. Tentu saja mereka harus merasakan melewati rute Samudera Hindia yang terkenal ganas ombaknya. Namun tak ada pilihan.
“Pusing ya dek?” awak kapal memperhatikan wajah-wajah pucat mereka sambil tersenyum, “ombak segini sih belum apa-apa..”
“Mudah-mudahan gak ada badai sampai di Krui..” ujar yang lain menakut-nakuti.
Ternyata banyak pelajaran yang bisa diambil kala menumpang kapal barang itu. Air tawar adalah barang langka, mereka dilarang menghambur-hamburkan air untuk mandi, membasuh diri secukupnya saja. Sayuran juga lauk yang langka, mereka lebih sering makan dengan ikan asin.
“Sangu na mah metung, ngan deungeun na lauk asin hungkul,” gumam Dudung masygul kala mengambil jatah makan.
“Aya keneh logistic teu na ransel?” tanya Willman.
“Aya asana mah,” ujar danpur Dudung. Ia bergegas ke kamar mengambil sekaleng sarden.
“Recah heula sarden na, moal cukup..” ujar Bar miris melihat isi kaleng kecil itu akan dibagi tujuh. Dudung sigap menghancurkan ikan sarden murahan itu, dirames dalam bumbunya, lalu dibagi-bagikan ke semua.
“Mayanlah daripada dahar lauk asin wungkul,” katanya berseri-seri. Yang lain menyendok nasinya dengan malas, nasi campur air laut, ikan asin dan bumbu sarden. Anggap saja air laut itu sop nya.