Entah sudah menjadi persyaratan atau keharusan setiap perjalanan hiking hari Kamis atau kami menyebutnya majelis Kamisan, selalu saja berhadapan dengan medan yang unfriendly. Selalu saja ada acara tebas menebas atau merangkaki jalur terjal, merayap, terpeleset dari ketinggian, dll. Tapi semua itu tidak membuat jera untuk kembali melakukan hal yang sama merayapi jalur yang sama di tempat yang berbeda.
Seperti halnya pada hari Kamis 31 Maret 2016, berawal dari niat hanya sekedar hiking ringan menuju Gn. Pangparang wilayah Timur kota Bandung. Dengan berkendara dari arah pasar Ujung Berung, saya, Barbar & Bobby tiba di sebuah persimpangan yang bertuliskan “Curug Cilengkrang” ke arah kanan sedangkan wilayah Gn. Pangparang ke arah kiri.
“Ka Cilengkrang we Bo” ujar Barbar tiba-tiba kepada Bobby yang saat itu memegang kemudi…”Urang nebas, neang jalur ka Manglayang” lanjut Barbar sambil nyengir…
”Hehehe siap! “ jawab Bobby sambil membelokkan jalur ke arah kanan.
Tidak berapa lama, kami pun tiba di sebuah warung. Seperti biasa setelah ‘protap’ sepeminuman kopi sambil sedikit bersosialisasi untuk sekedar menitipkan kendaraan hehehe, kami pun bergerak menuju bumi perkemahan Curug Cilengkrang.
Beberapa waktu yang lalu, saya, Barbar & Boedi Rahajoe sempat mengunjungi curug Cilengkrang ini yang letak curugnya agak jauh ketengah lembah dan saat itu kami kecewa karena curug yang kami dapati hanya jalur batu berlumut saja, dikarenakan musim kemarau yang panjang sehingga mengakibatkan debit airnya berkurang.
Tapi kali ini tujuan kami bukan menuju curug, tetapi mencari jalur menuju puncak Manglayang…Manglayang oh Manglayang, sebulan ini kau telah menjadi ‘primadona’ bagi kami… Setelah mengaktifkan aplikasi android ‘View Ranger’ nya Bobby, kami pun mulai memasuki kawasan ini yang disambut oleh gemericik aliran sungai berbatu.
Usai menyusuri sungai berbatu, kami mulai memasuki jalur yang rapat oleh ilalang dan kembali pisau komando kami keluarkan untuk memapas ilalang. Lepas dari jalur semak, kami lalu melintas sungai yang diseberangnya terdapat track tangga dari semen berlumut, yang justru jalanan seperti ini lah yang membuat kami jera karena licin bila dilalui dengan sepatu bersol vibram dan basah. Dari situ track terus menanjak dan berbatu penuh lumut sehingga mengharuskan kami sedikit merangkak.
Medan berbatu pun kami lewati hingga tiba pada tanah yang cukup miring yang membuat kami harus bertumpu pada pepohonan setiap kali melangkah. Menyusuri jalur ini ternyata tidak kalah serunya dengan medan berbatu yang licin. Tanah yang kami lalui cenderung labil dan rawan longsoran. Sebuah batu sekepalan tangan dengan derasnya menggelinding karena terpijak Barbar yang berada di atas saya telak mengenai tempurung lutut…”wadaaaw” nyerinya sampe ke hulu hati hehehehe. “Sori euy” teriak Barbar nyengir.
“Aya tangkal badag euy !! “ teriak Bobby tiba-tiba yang saat itu menjadi leader, ternyata jalur yang kami lalui terhadang sebuah pohon besar..
”Wah, jalur tarzan ieu mah” sahut Barbar. Memang jalur ini harus dilalui dengan memanjat akar pohon besar itu hingga merayapi batang pohon layaknya tarzan.
Usai melewati pohon besar itu, kami rehat sejenak…”Jigana unggal kemis kudu ripuh nya jalurna?” Tanya saya yang disambut cengiran Barbar dan Bobby.
“Enya, asana the tiap majelis Kamisan jalurna nyiksa” timpal Bobby sambil tertawa ngakak.
Ada kepuasan tersendiri ketika kami bisa melalui jalur yang penuh ‘derita’. Ada semacam sensasi yang berbeda bagi kami…walau hingga akhirnya kami tiba di sebuah bukaan dataran yang tinggi dan tampak di sana jalur setapak yang jelas & friendly yang menghubungkan antara Curug Cilengkrang dan Palintang.
”Itu jalur nu bener “ teriak Bobby yang disambut tawa oleh kami.
”Ah dasar we kudu kukurusukan wae unggal kamis” timpal Barbar.