Bermalas-malasan di Surabaya

Komplek Unair, Surabaya tak jauh dari stasiun Gubeng, sedang panas-panasnya, mungkin suhu di kota itu mencapai 38 C. Sebuah  rumah dinas sederhana yang dihuni uwaknya Dodi selalu jadi base camp kala para petualang kita melakoni tur ke Timur. Kali ini merekapun berhimpun disini, tepatnya dibawah pohon mangga. Suhu yang panas didalam rumah membuat angin sepoi dibawah pohon terlalu menggoda untuk dilewatkan. Apalagi makan siang baru saja dihidangkan – dan telah ledis. Aing mah cucuk ge meni teu kabere, gerutu kucing peliharaan uwa.

Sambil tidur-tiduran dibawah pohon mangga mereka melewatkan waktu diskusi. Ngobrolin ekspedisi? Bukan, melainkan ngacapruk seenak perutnya.  Masih dua hari tiket kepergian mereka, namun Dodi sudah tak sabar. adrenalin petualangannya menggejolak. Kala itu, menyebrangi pulau cukup prestise sebagai sebuah petualangan layaknya keluar negeri sekarang.

“Urang ulin ka pulau Madura we yu..meuntas laut,” katanya bersemangat.

“Haah..ka Madura..?!” Wawan terhenyak dari tidurannya “bisa tutung atuh urang, moal bisa maen pilem Baywatch..”

“Baywatch…” sungut Dodi mesem-mesem “mening titeuleum batan ditulungan Baywatch kawas maneh mah Wan.”

“Hehehe..” Wawan kembali tiduran.

“Dod, teu nanaon kitu urang teh sok kadeiu wae unggal taun?” tanya Bar ,” kuduna mawa oleh2 kadieu teh”

“Oleh-oleh naon?” Dodi yang sudah kembali berbaring terusik, “maneh mah diklat ge ngan mekel maizena..”

“Enya oleh-oleh na maizena we..nu penting mah hadiah,”

“Goblog…” gumam Dodi kembali memejamkan mata.

Pohon mangga yang menaungi mereka sebetulnya sedang lebat. Buahnya bergelantungan menggoda, walau belum masak. Ini tak luput dari pengamatan Opik.

“Ngeunah jigana dirujak euy….” ujarnya berdecak mengusap bibir ,”ngan hoream ngala.”

“Ala atuh Pik, pan maneh tim panjat. Maeunya we rek manjat Bambapuang ari tangkal buah teu ditaekan,” ujar Akuy.

“His beda atuh..urang keur nyimpen tanaga.”

“Sarua urang ge.. keur aklimatisasi,” ujar Akuy tak kalah malas.

Bukan Opik saja yang malas, yang lain tampak jelas enggan menggerakkan badan. Perut kenyang, hawa panas dan angin ngahiliwir.

“Atlit olimpiade ge moal daek nerekel panas kieu mah,” celetuk Wawan.

“Atlit naon Wan?”

“Atlit sumo.”

Suasana apatis kembali meliputi mereka, jauh dari citra macho para petualang di iklan roko. Mereka yang pergi bertualang saja tak otomatis menjadi macho, jadi apalagi yang ingin tampak macho hanya dengan meroko.

“Sugan we atuh murag ku angin hiji dua mah,” harap Adjat bari heuay.

“Murag satolombong ge teu nanaon,” Dudung berhalusinasi. Sebentar lagi step.

“Sugan we barudak awewe hideng ngala,” gumam Bar tak berperasaan. Semua paham maksudnya, mereka inget kala materi survival dulu saat para cewe susah payah menebang kersen hutan. Kala pohonnya runtuh langsung buah-buahnya dirontok para cowo maok combro ini.

Setengah jam berlalu.

“Euweuh nu murag ning..” gumam Opik.

“Barudak awewe oge teu ngala,”

“Sare deui we.”

“Ke rada burit mun geus iuh we  ngala na”

“Atawa isuk…”

Hmm.. kala sedang apatis, gajah lewat pun dibiarkan. Semua tenggelam dalam hawa panas kota Surabaya. Bulan Agustus 1994 cuaca benar-benar ngajeos. Berbaring dibawah pohon mangga yang rimbun seperti mendapat AC alam. Tak terlalu membantu, namun cukup memberi perlindungan.

Tak semua perjalanan menuju medan petualangan dijalani dengan gagah penuh resiko. Menjelang medan operasi tak ada salahnya bersantai, mengendurkan tensi menghadapi kondisi ekstrim  yang akan dihadapi di Sulawesi nanti. Bukankah begitu juga kawanan singa di padang rumput Afrika, mereka tidur seharian, Makan, heuay lalu tidur lagi. Namun kala mereka bangun dan menggeram, seluruh padang akan bergetar.