by Bayu Ismayudi
“Lingkung” dalam bahasa Sunda sehari-hari atau atau bahasa pergaulan setempat bisa mempunyai beberapa arti atau makna. Selain berarti “lingkungan” bisa juga bermakna “berputar-putar”.
Dan ini lah mungkin yang di maksud dengan sebuah nama gunung di wilayah Utara kota Bandung, Gunung Lingkung, begitulah penduduk sekitar menyebutnya. Gunung Lingkung ini mungkin lebih tepatnya disebut bukit karena kondisinya yang memang tidak begitu tinggi.
Menurut beberapa penduduk sekitar dinamakan Gunung Lingkung karena seringnya orang yang tersesat di wilayah itu. “Tong waka anu sanes, orang dieu wae sering linglung mun ka gunung eta mah”. Ucap seorang penduduk setempat saat kami akan melakukan penelusuran jalur menuju Curug Cibareubeuy dari arah Bumi Perkemahan Cikole, Sabtu 14 November 2015 kemarin, yang membuat orientasi kami terlalu melambung hingga melampaui destinasi yang kami tuju.
“Orang dieu wae sok puputeran mun ka gunung eta teh”. Tukasnya lagi. ‘Keajaiban’ jalur gunung Lingkung ini pernah saya buktikan saat survey jalur untuk suatu kegiatan. Saat itu tahun 1994, saya berdua bersama Opik melakukan penelusuran jalur dari arah Wates, Lembang, Tangkuban Parahu. Awalnya saat memasuki kawasan Gunung Lingkung, kami tidak merasakan keganjilan apapun, hingga akhirnya setelah sekian jam kami baru menyadari bahwa kami berjalan berputar-putar di area yang sama.
Hingga memasuki sore hari, kami belum menemukan jalan keluar. Lantas kami pun memutuskan istirahat sejenak. “Urang kalem heula we bari mikir…” ungkap Opik sambil berselonjor kaki diselingi hembusan asap rokok dari hidungnya….”Tapi ieu geus sore pik..” tukas saya cemas. “Keula kagok beak rokok…” jawab Opik santai…
Usai rehat sejenak, kami pun kembali melanjutkan perjalanan, meraba jalur-jalur yang malang melintang di depan kami. Hingga akhirnya menjelang maghrib kami bisa keluar dari “labirin” Gunung Lingkung.
Karena keremangan senja mulai menyergap, kami pun memutuskan untuk mendirikan tenda hendak bermalam di hutan wilayah kaki Gn. Lingkung. Saat kami mulai mengeluarkan tenda dari carrier, tiba-tiba seorang penduduk setempat datang mendekat dengan tergopoh-gopoh..”Kang, tong kemping di dieu, mending kulem we di bumi kepala keamanan, soalna nembe dua dinten kamari aya nu dibegal di dieu”. Tanpa basa basi lagi kami pun menggulung kembali tenda lalu beranjak mengikuti penduduk setempat tersebut menuju rumah kepala keamanan desa…
Berbeda dengan kondisi Gn. Lingkung 21 tahun yang lalu, saat saya mengunjunginya kembali bersama rekan Bayu Bhar, jalurnya lebih tertata karena dikelola oleh sebuah komunitas mountain bike. Dan di puncaknya pun terdapat shelter untuk beristirahat para pesepeda. Tapi walau pun begitu jalur-jalur yang terdapat di gn. Lingkung tetap akan membingungkan bagi yang belum terbiasa, bahkan bagi penduduk sekitar sekalipun
foto : Bayu Bharuna