Carrier Karrimor Condor si Momok Pendakian

197418_1015751646846_1712_nPada awal tahun 90-an carrier yang berkualitas yahud masihlah jarang, amat susah mendapat akses ke produk luar. Kalaupun ada harganya sering tak terjangkau. Namun kondisi itu kurang tercermin di PLW, dimana carrier Karrimor sudah sering dipakai. Apakah semua memiliki Karrimor? Ternyata tidak, hanya satu carrier milik Adjat sebenarnya namun yang lain bergantian meminjam. Oleh-oleh dari Perancis kala orangtuanya yang bekerja di Geologi dinas kesana. Bukan saja Adjat yang senang, rekan-rekannya pun ‘ngiring bingah’.

Kadang tanpa sepengetahuan Adjat pun, carrier itu dipinjam paksa. Maklum saat itu belum ada perangkat komunikasi, sehingga sulit menghubungi seseorang. Jadi saat datang ke rumah Adjat, orangnya belum tentu ada. Tersebutlah Bar, yang suatu saat akan meminjam carrier ini untuk kepergian yang mendadak ke Kerinci esok hari. ia segera menuju rumah Adjat di Buahbatu, ternyata yang empunya tak ada. Waduh bagaimana, besok pagi harus sudah pergi.

“Da atos nyarios ka Adjat bade nyandak Karrimor,” ujarnya santun kepada yang dirumah. Padahal Adjat sendiri belum tahu rencana kepergiannya. Alhasil, Adjat terkejut saat pulang mendapati carrier kesayangannya tak ada. Gelo yeuh si Barbar, gumamnya geleng-geleng kepala.

Karrimor Condor warna merah berkapasitas 90L ini benar-benar tandem yang bisa diandalkan di medan pegunungan. Karena kapasitasnya yang besar, biasanya carrier ini menjadi kargo bagi peralatan tim terutama tenda dan kamera. Setiap orang bergantian memanggul carrier yang kadang diupgrade kapasitanya menjadi 100L, cukup membuat kewalahan para pendaki terkuat saat itu.

Namun banyak cara mengakali supaya tak kehabisan nafas kala memanggul carrier ‘badag enjum’ ini. Mereka yang cerdik mempelajari dulu jalur pendakian dari pos ke pos, sebelum berbagi tugas memanggul si Condor. Dalam pendakian gunung Tambora jalur Doropeti tahun 1993, perjalanan dari pos 3 ke pos 4 merupakan yang paling menantang. Luthfi dan Bar sudah mempelajari jalur ini, lalu memasang strategi sejak awal.

“Geus we urang bagian pos 2 ka pos 3,” ujar Bar.

“Sip lah, urang pos 4 ka pos 5,” sambut Luthfi,” keun we pos 3 ka pos 4 mah ku Triyanto.”
Alhasil, walau didaulat pendaki terkuat Triyanto ngos-ngosan di jalur terjal dan rapat. Dengan mudah keduanya ‘menyalip di tikungan’.

“Ripuh kitu Tri, rek gantian manggul na?” Bar basa-basi bersimpati.
“Hah..hoh..edan…ari giliran urang jalurna meni kieu..”gerutu Triyanto.
“Enya da teu apal urang oge,” ujar Luthfi. Benar oge sih, pikir Triyanto yang tak waspada meneruskan langkah-langkah penderitaannya.

Medan pendakian gunung Kerinci juga merupakan jalur yang asoy untuk memanggul si Condor. Bar, Wawan Barang dan Bobby melakukan perjalanan itu tahun 1995. Bobby masih anggota muda, baru beberapa bulan bergabung. Seperti biasa, perlengkapan tim dilahap oleh carrier supersize ini.

“Engke gantian manggulna,” ujar Bar yang baru saja ngembat carrier ini dari rumah Adjat tanpa sepengetahuan pemiliknya.
“Siap..” jawab Bobby.

Namun Bar dan Wawan sejak awal memang tak berniat memanggul carrier itu. Bobby yang sedang dalam masa puncak fisiknya, karena baru selesai diklat menjadi andalan.
“Bob, ti heula nya, ke gantian,” ujar Wawan. Siap, angguk Bobby.

Namun kala berganti pos, Wawan dengan gemilang memainkan jurus ‘”Enggeus kagok, teruskeun we heula..” Bobby tak berdaya melawan sabda seniornya di Antrop itu. Akhirnya ia berjuang sendiri membawa carrier badag enjum itu ke pos akhir, hanya sesekali Wawan dan Bar membantu bila ia sudah kepayahan.

“Alus..alus, Bob..fisik na kuat,” ujar Wawan lalu ngacapruk.” Tah nu kieu teh termasuk Mabim oge…ieu teknik pendakian.”
“Teknik naon?” tanya Bobby. Wawan juga bingung, ia menengok ke Bar.
“Alpine push..” jawab Bar asal.
“Oooh…” entah Bobby percaya atau tidak.