Gunung Tilu dan Hiperbolisme Wawan Barang

199906_1015797207985_3260_nby Dodi Rokhdian

 

Wawan Barang bersitegang dengan Sobur mempersoalkan jumlah indomi, “Bur ongkoh tinggal lima, naha ngan aya dua?” Gerutunya waktu itu. Sobur yang dijadikan tersangka berkelit,”Tadi di puncak mah lima Wan, teuing kamana?” Kata Sobur. “Nu baleg Bur, Cik dipariksa, aya sesa indomi teu dihuntu maneh? Ngaku weh Bur kumaneh didaharnya?” Sobur nyerengeh waktu Wawan meminta ia membuka mulutnya untuk memeriksa artefak sisa-sisa mie instan di mulutnya. “Ah maneh mah, pariksa weh ngke mun urang modol isuk, mun aya emihan artina urang nyikat indomi, kumaha Wan erek mariksana?” Tutur Sobur. “Maneh weh jeung nini maneh mariksa sorangan” kata Wawan sambil terkekeh.

Itu momen canda tawa nan indah. Momen saat tim survey tersesat ketika merintis rute jalur M.O diklat, dari Puncak Gunung Tilu ke Puncak tikukur di Kawasan Ranca Upas. Tepatnya di tahun 1993, lima belas tahun yang lalu di sebuah lembah tipis,serupa cerukan jalur air, di lereng penghubung Gunung Tilu dengan Tikukur. Dan Wawan merisaukan persediaan logistik yang menipis sesaat ketika kami menyadari bahwa kami sedang tersesat.

Sebagian tim mendiskusikan rencana apa yang akan diambil. Luthfi Rantaprasaja atau kupil menyarankan istirahat dan semua sepakat. “Sasab euy” kata Dudung sambil garuk-garuk kepala. “Dung cenah maneh nyaho, kumaha Dung?” Dudung yang menjadi narasumber jalur tersebut kebingungan dicecar pertanyaan tersebut. Ia kebingungan meski ia mengaku sering melewatinya. “Urang mah pas di Bidow oge tara leumpang diharep, di tukang wae maklum lah danpur” ¬Bidow itu Pecinta alam SMA-nya Dudung, dan ia sekarang sedang ditengah-tengah kegiatan survey Palawa Unpad. Satu jam yang lalu kami memang curiga karena kami menerabas lereng hanya mengikuti insting bagai segerombol babi hutan yang mencari air. Tak saya jumpai punggung-punggung bukit yang biasanya nyaman dilalui. Satu jam yang lalu itu badan kami seperti melewati mesin parutan kelapa terpanjang, badan kami dipenuhi luka gores dan perih oleh duri-duri rotan.

Ide untuk berhenti dari Kupil adalah prosedur yang dianjurkan bila tersesat di gunung atau hutan. Di jeda itulah biasanya muncul tindakan-tindakan paling rasional untuk diputuskan, namun Wawan kembali menyegarkan suasana dengan celetukannya. “Tanggung jawab Dung, Indomi jelas-jelas teu cukup jang dahar kabeh” Kami yang sedang salah jalan ini otomatis menimpali celetukan ini. “Survival atuh Wan neang dadaunan, keun indomi didahar ku urang” Celetuk Sobur. “Wah kumaha atuh, era euy sasab di gunung tilu mah” kata Wawan Barang sambil melanjutkan lagi celetukanya. “Kabayang teu ngke urang-urang aya di koran, diberitana jiga kieu….Anggota Palawa Unpad tersesat dan mati di Gunung Tilu…, teu gaya lah, mending mun keur di Himalaya”

Dan kami kembali tertawa terbahak-bahak. Setelah itu kami seakan lupa. Lupa bahwa tersesat itu bisa berbahaya bagi kesehatan dan jiwa, dan tak menyadari juga bahwa Gunung Ini terkenal rada angker.

Tiba-tiba hutan di sekeliling ber-reaksi atas canda dan tawa kami yang mungkin kelewatan, bunyi-bunyi binatang yang tak kami kenali membuat kami diam tak bersuara,”Cicing euy, eta aya sora naon?” kata salah satu tim. Gerusak-gerusuk bebunyian terdengar menerabas di sekitar kami istirahat tanpa kelihatan bentuknya. Hari semakin sore, dilangit menetes rinai hujan gerimis (biar dramatis) namun saat itu gunung tilu menunjukan wibawanya.

“Sora naon eta euy? Sugan weh domba nu sasab oge, sok lah teu nanaon mun domba mah, urang sate ku sararea” kata Opik.

Sambil sedikit jiper oleh rasa takut, kami tertawa mendengar imaji domba dan sate ini, namun sekilat kemudian,“bedebum, buk, buk” kami terloncat saat beberapa batu seperti dilemparkan seseorang ke arah kami. Sebuah batu segede kepala bayi teronggok disekitar kami setelah dilemparkan ‘seseorang’ dan kenyataan itu membuat kami curiga. Curiga karena tak mungkin pelemparan ini dilakukan oleh ‘manusia’ di gunung yang tak populer ini. Gunung Tilu adalah gunung yang bukan tujuan wisata, ia ditenggarai oleh mitos di lokal Ciwidey sebagai ‘jalur gerombolan’ di jaman pemberontakan. Atau sebagian cerita lain, dari almarhum Aki Wira di Ranca Upas, bahwa gunung ini jadi tempat pembuangan mayat anggota PKI dan penjahat saat musim petrus.

“Hiyyyy.. balik deui weh euy, muringkak bulu punduk euy” ujar Wawan Barang melupakan sejenak masalah defisit bungkus indomi. Dan kami pun berkemas, packing secepat yang kami bisa, lalu kami mendaki lagi jalur yang sebelumnya kami turuni. Puncak Gunung Tilu sebentar saja berhasil kami lalui dan selanjutnya kami turun melalui jalan setapak menuju kaki gunung tilu di sebuah tempat bernama ‘Patrol’ untuk menyusuri jalan perkebunan Warung Jampang menuju Ranca Upas. Membayang-bayang kala itu segelas bandrek haneut dan semangkok indomie plus bala-bala panas di warung Aki Wira, duh.. sementara dibelakang sana Gunung Tilu sudah tak nampak lagi.