by Boedi Rahajoe
Fenomena itu sangat terasa ketika di penghujung hari, selesai materi.
Saat kami kembali ke camp, harus ada relawan yg bersedia diri menempuh beberapa menit semak dan jalan setapak licin untuk mengunduh beberapa veldples air.
Kami sangat kreatif dengan bergumpal ciptaan alasan agar tidak lolos dari persyaratan sebagai relawan.
Ada yang berakting duduk hampir rebah bersandar di ranselnya seolah kepayahan sedemikian hingga berkedip pun tak mampu.
Ada yang dengan wajah becek berkerut bagai singa kehilangan keperkasaan, luar biasa sibuk memuntahkan isi ranselnya. Setelah semua tercecer, ia kembali tata ulang memasukkan barang²nya kembali….demikian berulang² seperti kaset kusut self-replay.
Sebagian yang lain tidak terpengaruh atas akting² dan alasan-alasan. Kami malah memanfaatkannya untuk melatih kemampuan negosiasi, provokasi serta penguasaan psikologis lawan.
Entah siapa yang memulai, tapi isu tentang pemilihan “Siswa Teladan” berhembus kencang. Tera, Akuy, Sadikin dan saya, membahas hal tersebut. Tak butuh briefing untuk menentukan skenario ataupun berbagi peran. Secara alamiah kami bersahutan saling mengisi informasi dengan wajah polos terpercaya sekaligus meyakinkan.
Ada yg mengaku sempat menguping pembicaraan pelatih bagian Kesiswaan bahwasanya Wilman digadang² menjadi Siswa Teladan karena kepatuhannya, sifat rajinnya dan dianggap yang paling pantas menjadi panutan 11 siswa lainnya.
Cuping hidung Wilman makin lama tampak mulai membengkak.
Kami makin semangat merendahkan diri sendiri dan sebaliknya memuji² sang nominator Siswa Teladan.
Tujuan akhir tercapai ketika Wilman tak mampu lagi membendung wajah bahagianya yg merah padam. Hidungnya mungkin hampir meledak ditekan gelora jumawa.
Selepas dia hilang dari pandangan karena terlingkup semak….. Kami merayakan dengan sederhana.
Cukup dengan rasa puas yang dalam dan tawa terbahak.