Kabut di Situ Patengan

317332_104505052989929_1063693850_nPendidikan dasar adalah petualangan yang belum selesai

Pk. 19:11 WIB . Kira-kira 3 kilometer selepas kota Ciwidey, Jip Willys keluaran tahun 1944 yang dikendarai Opik harus berhenti dulu di pinggir jalan. Kelihatannya radiatornya terlalu panas hingga harus di cooling down dulu beberapa lama. Maklumlah kendaraan klasik, mungkin jip ini pernah mengikuti beberapa pertempuran dalam Perang Pasifik. Sebuah tanah agak lapang di sisi kiri jalan jadi tempat yang cukup representatif untuk parkir, karena pemandangan ke lembah cukup indah untuk melayangkan pandangan.  Malam hari kerlap-kerlip lampu dari kota Ciwidey terlihat berkilauan dipantulkan butir-butir kristal air hujan.

Rendezvous di situ Patengan

Tujuan kami adalah area danau dan kebun teh di Situ Patengan, sekitar 30 menit lagi bila perjalanan dilanjutkan. Serinai gerimis menemani kami berempat berhimpitan dalam jip klasik yang penuh dengan logistik ini, seolah menyapa kami yang sudah lama tak bercumbu dengan cuaca basah Bandung Selatan.

Awal Maret tahun 2009 para alumnus alam liar menyempatkan rendezvous di Situ Patengan yang bernuansa mistis itu. Beberapa kendaraan 4×4 tampak parkir di sekitar base camp yaitu di areal perkebunan teh di tepi danau. Sungguh menyenangkan bertemu dengan para sejawat era petualangan dulu dan juga generasi petualang baru yang masih segar. Momen seperti ini merupakan  cara alamiah  untuk memelihara nilai-nilai  yang diestafetkan dari generasi ke generasi. Akan sayang sekali bila melewatkan momen sakral yang berlangsung hanya setahun sekali ini. Semua larut dalam eforia masa penjelajahan dulu hingga mata mulai terasa berat pada malam yang semakin membatu.

Kenangan miris

Pagi-pagi kabut seperti selimut yang melapisi areal perkebunan teh dan permukaan danau. Hujan kerap turun disertai angin dingin yang terasa menusuk-nusuk permukaan kulit sehingga membuat membuat suhu danau terasa makin mendekati titik beku. Selimut putih di atas permukaan airnya bagai gumpalan awan yang akan menelan siapapun yang menembusnya. Kita bahkan tak dapat melihat tepinya yang lain, pandangan hanya bisa dilayangkan hingga tiga meter ke depan.

Tiba-tiba sebuah kesan yang getir sejenak menyeruak alam bawah sadar. Kenangan saya kembali pada empat belas tahun lalu, saat siswa dituntut menyeberangi danau Situ Patengan yang tertutup kabut (Lihat Belum Ada Tempat untuk Jill  )Di antara selimut putih yang menutupi permukaan danaunya, saya dapat merasakan kembali denyut perjuangan seorang siswa yang meredup. Sebuah semangat berjuang yang meronta-ronta namun terbelenggu oleh tubuh yang lemah. Saya masih ingat kami berusaha memberinya peluang, mengulur-ulur waktu, bahkan pasang badan membantunya. Namun yang kami hadapi adalah alam, kekuatan tak berbatas. Siapakah yang mampu melawannya, hanya saja saya merasa ada sesuatu yang salah kala mengirimnya pulang. Itulah kejadian di masa lalu yang terasa masih seperti kemarin, kala kabut putih kembali menyelinap ke relung hati di situ Patengan.