Perjalanan tahun 2011 ke Saigon, Vietnam, sebenarnya bukan sesuatu yang luarbiasa, banyak yang pernah melancong ke luarnegeri sebelumnya. Namun alih-alih menjadi sebuah perjalanan biasa-biasa saja, kunjungan ke negeri Uncle Ho ini menjadi momentum bangunnya sebuah raksasa yang tertidur, a giant within. Sejak saat itu, entah sudah berapa orang yang pensiun dari petualangan kembali mengepak ranselnya demi datang ke bekas ibukota Vietnam Selatan itu.
Saigon atau Ho Chi Minh City, tak berbeda jauh dengan kota-kota di Asia Tenggara lain yang sibuk berbenah menuju industrialisasi. Infrastrukturnya masih kalah jauh dengan Bangkok atau Kuala Lumpur, tertinggal satu dasawarsa dari Singapura yang modern, bahkan terlihat mini dibandingkan Jakarta. Namun tampak jelas, bahwa kota yang pernah luluh lantak oleh perang ini mempunyai eksotika yang menarik adrenalin para veteran petualangan. Jauh sebelum memulai petualangan di belahan bumi Indochina, nama Saigon telah membuat sebagian diantara mereka berdesir hatinya. Seperti ada panggilan teramat halus untuk berkunjung kesana.
Kala pertama ke Vietnam di tahun 2011 itu, sebenarnya mereka pun tak harus berkunjung ke kota di Selatan ini karena tujuan mereka adalah Hanoi di Utara. Mereka bisa saja transit di KL, Bangkok atau Singapura yang lebih nyaman. Bahkan kini penerbangan rute Saigon-Jakarta yang dulu pernah mereka tumpangi itu sudah dihapus oleh maskapainya.
Seolah ada invisible hand yang membuat mereka kala itu memilih transit di Saigon yang lebih bersahaja dibanding kota-kota metropolis itu. Maka terdamparlah mereka di sudut sebuah area backpacker, ngopi di tepi-tepi jalan, tidur di penginapan dalam gang dan mengendus sebuah atmosfer petualangan yang baru. Saat kembali ke tanah air, semua tahu perjalanan itu telah mengubah mereka dan kepulangan kali ini hanyalah sebuah awal dari episode baru yang menunggu didepan. Era petualangan yang baru sama sekali.
Kini hampir beberapa bulan sekali, secara bergantian mereka nangkring di kafe Huongvy yang buka 24 jam di jalan Pham Ngu lao, sekedar ngopi sambil memandangi lalu lalang lalulintas didepannya. Kadang tak ada yang dibicarakan, hanya melayangkan pandangan kosong. Termangu seperti sedang menata pikiran yang berserakan, mengurai benang kusut kehidupan. Tak ada yang lebih afdol menemani, selain segelas kopi Vietnam drift yang hitam dan kental.
‘Gank of Saigon’ secara rutin datang dan pergi, seolah menjadikan kota ini sebagai hometown berikutnya. Hampir semua jalan di sepanjang Distrik 1 yang merupakan area backpacker sudah mereka kenali aromanya. Ada rindu menyelinap di relung hati bila telah lama tak berkunjung ke Saigon.
Apa yang terjadi ketika masing-masing berada ke Saigon, setiap orang merasakannya secara berbeda. Namun sebuah hal yang pasti, semua merasakan persahabatan yang meremaja kembali. Sebuah perjalanan batin ke masa lampau. Mereka seperti terhanyut ke masa silam kala mulai merajut petualangan bersama dulu, lalu tiba-tiba terdorong kembali ke masa kini. Semua tersentak, ternyata telah begitu lama kehilangan rasa itu. Setiap orang pun hanyut dalam eforia yang bergejolak, rasa rindu yang menyelinap di kedalaman hati dan imajinasi yang mengangkasa menuju bintang.
Di sebuah gang yang bersahaja antara Bui Vien dan Pham Ngu lao, setiap orang mengumpulkan kembali memori yang berserak dan menyusun kepingan-kepingan itu sebagai bekal kedepan. Apa yang dirasakan di Saigon, mungkin tak akan pernah bisa diraba oleh orang lain. Dan merekapun tak merasa perlu membicarakannya. What hapenned in Saigon, stayed in Saigon.
Foto : Bayu Bharuna, Hoa Nguyen, Dudung Hidayat, Wahyu Suprianto, Rifki Areadi