by Mas Oktavian Pd
Suasana di Camp 21 persis seperti suasana cowboy yang sering dilihat di film-film western. Semua bangunan di Camp 21 merupakan bangunan setengah jadi yang semua bahannya terbuat dari kayu. Orang-orang duduk diberanda, yang membedakan adalah tidak adanya kuda, yang ada adalah desing mesin-mesin truk pengangkut kayu (entah apakah kayu yang diangkut itu legal atau illegal).
Dinamakan Camp 21 dikarenakan jarak tempuhnya dari desa terakhir sepanjang 21 km. Perjalanan menuju Camp 21 ini masih merupakan jalanan tanah merah yang membuat debu sangat tebal saat dilalui. Terlebih disaat ini yang merupakan musim kemarau. Mas dan tiga orang rekannya yaitu Eris, Rahwa dan Bonk diantar dengan dua jip milik perkebunan menuju Camp 21. tempat ini adalah peradaban terakhir yang mereka capai sebelum menuju kaki tebing Bukit Daya untuk melakukan pemanjatan.
Mas serasa menjadi koboy beneran disini karena keadaan lain sungguh tak ada bedanya dengan yang ada di film koboy. Ia merasa menjadi pemeran utama dalam film bertemakan wild wild west dimana rumah-rumah masih terbuat dari kayu, debu yang beterbangan sangat tebal dan orang-orang yang nongkrong diberanda rumah. Kondisi kabut asap yang masih menyelimuti areal Camp 21 menambah suasana dramatis kala itu. Jarak pandang hanya beberapa ratus meter saja. Namun syukurlah di sore hari hujan rintik-rintik sempat membasahi area ini kurang dari 30 menit sehingga sekilas Mas dapat melihat bukit batu yang menjadi tujuab nereka.
Tak tersedia air yang melimpah disini untuk membersih badan sehingga mereka membersihkan diri dengan air seadanya. Setelah merasa segar mereka pun duduk-duduk di beranda rumah ditemani kopi racikan Eris. Teman seangkatannya ini memang terkenal dengan masakannya sehingga dengan bahan seadanya untuk meracik makanan dia bisa membuat yang lain menambah makan sampai berkali-kali. Mereka pun terlibat bincang-bincang yang seru sambil sedikit berbisik-bisik di beranda meng-gosipkan sekretaris perkebunan ini yang agak bahenol dan melihat orang-orang yang baru pulang kerja dari ladang perkebunan.
Gadis sekretaris itu cara berbicaranya sangat manja dan seolah-olah sedang melakukan tebar pesona terhadap mereka. Mas tidak tahu entah apakah ia saja yang kegeeran atau semuanya merasakan seperti itu, karena walaupun mereka berempat berpenampilan sedikit sangar namun termasuk pemula dan pemalu terhadap mahluk Tuhan yang namanya wanita. Dari sekumpulan rombongan yang datang dari perkebunan terlihat satu rombongan yang agak berbeda dari yang lainnya, ada satu gadis yang berambut panjang yang seperti mutiara di tengah hutan.
“Edun.. aya nu geulis euy,” celetuk si Eris.
Masing-masing pun pasang aksi tak mau mati gaya di depan mahkluk manis ini. Terutama Eris yang terkenal agak berani sebagai pembuka ( padahal setelah pembukan untuk processing dan finishing touch selanjutnya sama saja dengannya alias tidak ada keberanian).
“Suit…suit..suit….gadis…” kata Eris bersuit dan memanggil kearah gadis rambut panjang lurus tersebut.
Tak disangka tak dinyana gadis manis tersebut datang menghampiri kami. Gila…situasi menjadi tak karuan bak kapal pecah ditengah samudra luas. Hanya satu kata yaitu panik, itulah kondisi diantara mereka pada saat itu. Selama beberapa tahun mereka dilatih, dilatih dan ditempa untuk menyadari bahwa salah satu kunci dari kegiatan di alam bebas adalah tidak panik dan tetap tenang, namun ketika menghadapi mahluk Tuhan yang satu ini jurus supaya tidak panik itu susah untuk diaplikasikan.
Akhirnya gadis itu menghampiri dan sampai di tempat mereka. Suasana menjadi senyap dan kikuk. Mas merasakan beberapa butir peluh di dahinya.
“Elisabeth..”, gadis itu akhirnya memperkenalkan diri sambil menjulurkan tangan.
”Aku tinggal disebelah,” katanya sambil dia menunjuk lokasi tinggalnya yang persis disebelah tempat nginap yang ditempati mereka. Hanya dipisahkan oleh jalan selebar tiga meter.
Mereka berempat mau tak mau tak bisa beranjak dan dengan berkeringat dingin memperkenalkan diri masing-masing sebagai mahasiswa yang akan melakukan pemanjatan ke Bukit Daya.
“ E.ee. Eris..” dengan susah payah dan terbata-bata Eris memperkenalkan dirinya masih dengan wajah sedikit pucat.
Mas merasa yakin gadis itu tahu persis kekikukan yang dialami oleh mereka berempat. Seolah menantang mereka atau merasa di atas angin, setelah itu Elisabeth mengajak mereka berempat untuk main ke tempatnya. Hampir serempak mereka menjawab masih ada beberapa yang harus diselesaikan. Namun sebenarnya karena tidak adanya keberanian dari untuk menindak lanjuti ajakan gadis tersebut. Rasanya lebih berani meladeni tebing Batu Daya yang menjulang daripada menghadapi seorang gadis. Hehehe …