Melipir Rasa di Sanggara

278531_2204699879123_3954406_oLandrover yang dikemudikan Rahwa hanya mengantar sampai perbatasan hutan. Sedikit saja masuk hutan maka segera terasa kelebatan hutan gunung Sanggara, tak jauh dari kompleks gunung Bukittunggul. Cuaca terik  dari sinar matahari terhalang oleh rimbunnya pepohonan begitu berada di dalam hutan. Tujuan hiking adalah puncak Sanggara yang berketinggian sekitar 1.900 meter dpl. Sebuah perjalanan nostalgia di bulan Juli 2011, karena terakhir kesini mungkin tahun 1996.

Hiking menuju puncak Sanggara bukanlah perjalanan ongkang-ongkang kaki yang ringan. Hutan di kawasan Sanggara memang bukan taman yang manis seperti di Dago Pakar. Tak lama sejak memasuki hutan segera saja disambut oleh tanjakan yang terjal, sehingga terkadang harus menggunakan tangan untuk menjangkau akar dan batang pohon untuk membantu mendaki.  Disini masih dapat dijumpai hutan purba dengan pepohonan yang berselimut lumut, pacet selalu siap menghisap darah bila tak awas dan nyamuk hutan kerap mengerubuti kala beristirahat.

Di puncak Sanggara terdapat sebuah nisan in memoriam yang menandakan pernah ada jiwa bebas yang dipanggil ke alam baka. Kawasan ini sering dijadikan arena latihan oleh para pecinta alam antara lain karena hutannya masih asri dan heterogen sehingga cukup representatif untuk materi survival.  Sehingga tak heran walau memang ada jalan di hutan namun bukanlah setapak untuk berlenggang kangkung karena hanya dilalui para pencari kayu, pemburu dan petualang.

“Ssst.. aya lutung,” bisik Asnur yang berjalan didepan. Ia berhenti di sebuah tanjakan sambil mengawasi pepohonan disebelah kirinya. Yang lain melihat kepada kerimbunan yang ditunjuk Asnur. Terlihat sosok yang hitam melompat dari pepohonan besar, jumlahnya lebih dari satu dan jelas bukan monyet yang berukuran kecil.

“Lutung  didieu mah arageung saukuran jalmi,” ujar seorang pencari burung yang sempat ditemui di bawah. Mungkin agak berlebihan, memangnya Lutung Kasarung. Namun lutung yang mereka lihat memang tidaklah kecil.

Selalu menjadi dilematis bila bertemu dengan wong cilik yang mencari pencaharian dengan berburu burung atau binatang lain di hutan. Disatu pihak itu mengganggu kelestarian alam namun dipihak lain perut mereka yang lapar tentu harus diisi, keluarganya di rumah perlu membeli beras dan anak-anak mereka perlu mendapat pendidikan yang tinggi agar kelak lebih pintar dari orangtuanya. Ah, semoga mereka berburu masih dalam batas kewajaran. Nature provides our meals as long as we contoll our appetite.