Suatu hari di bulan Agustus 1994, para petualang kita sedang bermukim di dek KMP Lawit yang sedang berlayar dari Tanjung Perak, Surabaya menuju Makassar, kala itu namanya masih Ujung Pandang. Bukan akan bertransmigrasi ke Sulawesi, melainkan akan melakoni petualangan baru mereka disana. Kala itu bertualang menyeberangi pulau terutama ke wilayah Tengah dan Timur dipandang cukup bergengsi, kalau sekarang mungkin seperti bertualang ke luar negeri.
Wajar mereka saja kebagian tempat di dek, karena kelas paling murah kala itu dengan harga tiketnya 30 ribuan. Penumpang selalu bejibun di trayek yang padat karya ini, apalagi sekarang musim liburan. Jadi jangankan kelas ekonomi yang masih kebagian matras di di barak kapal, ini benar-benar terpapar di dek kapal. Bila tiduran, para penumpang lain lalu-lalang melangkahi. Bila turun hujan, alhamdulillah ikut basah.
Tak terlalu masalah bagi mereka sebenarnya, karena biasanya juga sudah sangat akrab dengan kelas-kelas paling dasar tiap moda transportasi. Sebelumnya juga memakai KA ekonomi Badra Surya dari Bandung menuju Surabaya, tiketnya seharga 8,500. Jadi beralaskan flysheet di dek kapal laut ini juga sudah dianggap pesiar yang lumayan. Yang masih belum terbiasa adalah kala mengambil jatah makan.
Antrian mengular seperti pembagian jatah beras jaman dulu, hanya saja antriannya berputar-putar di ruangan kapal. Sebentar-sebentar antrian miring ke kiri dan ke kanan mengikuti gelombang. Udara di dalam kabin tak sesegar diluar, kadang aroma dari toilet yang tak terpelihara pun tercium bercampur semerbak aroma para penumpang yang belum mandi karena fasilitas MCK tak memadai.
Beberapa yang lain tak terlalu terkejut dengan suasana di kapal, karena pernah menumpang kapal barang ke Krui. Waktu pulang dari Tambora juga menumpang kapal kayu dari Calabai, Sumbawa ke Labuhan Lombok. Namun tetap saja suasana tak nyaman mengemuka.
“Eungap kieu di jero kabin mah..,” keluh Wawan.
“Leungit selera makan kieu carana mah,” ujar Kupil.
Setelah antri sekitar seperempat jam mereka sampai di area dapur. Tanpa basa-basi koki langsung menumpahkan nasi ke piring mereka. Sangu na oge baseuh kitu, pikir Wawan tercenung melihat gundukan nasi di dapur.
Pemberian nasi sebetulnya cukup royal, masing-masing kebagian setumpuk nasi seperti tumpeng. Namun dipuncak tumpeng hanya ada ikan asin dan selembar sayur. Lalu diguyur kuah secukupnya, entah kuah apa yang penting membasahi nasi.
“Cuma ini?” tanya Kuphil penasaran.
“Tuh beli sana di kafetaria kalo mau yang lain,” jawab koki tak acuh sambil menunjuk arah ke kafetaria. Tiket kelas kambing aja banyak tanya, mungkin begitu pikirnya.
Meuni kitu, pikir ketua ekspedisi Sulawesi ini merengut.
Setelah mengambil jatah makan, masing-masing ngeloyor meninggalkan dapur menuju dek untuk makan dengan perasaan yang campur aduk. Ada rasa galau, dimakan kok seperti tak ada selera, tak dimakan kok ya lapar. Sambil duduk di geladak kapal, semua mencoba beradaptasi dengan hidangan sea food itu.
“Bisa ceurik indung urang apal kieu mah,” cetus Wawan bombastis, namun sendoknya selalu penuh dengan suapan yang mantap. Krauk..krauk..
“Dung meunang muka kornet logistik teu?” bisik Bar,” hiji ku sapuluhan ge bae.”
“Teu bisa,” ujar Dudung tegas,” eta mah keur engke ekspedisi. Ayeuna mah acan mulai ekspedisi na oge.” Nasib.., pikir Bar, dengan malas ia menyuapkan nasi ke mulut. Hanya agar ada energi bagi tubuh. Sementara dengan insting danpurnya, Dudung langsung menggeser duduk menjaga tumpukan logistik.
Dalam situasi petualangan, makan memang bukan masalah berselera atau tidak, melainkan asupan energi bagi tubuh. Hanya dalam hitungan hari, keduapuluh lima orang petualang kere(n) itu sudah ditunggu oleh berbagai medan ekstrim di bumi Sulawesi yang menjadi tujuan mereka.