Di tugu Khatulistiwa, Pontianak, keenam petualang berpisah ke dalam dua kelompok. Wawan, Dodi dan Firkan berencana menyusuri sungai Kapuas, sementara Bar, Opik dan Luthfi akan menuju ke Mandor dan Sintang. Bulan September 1994, mereka mulai merintis misi besar untuk membawa panji-panji petualangan ke tanah Borneo.
Sebagai sungai terpanjang di Indonesia yang mencapai 1.143 km, kemegahan sungai Kapuas telah menarik minat Firkan, Dodi dan Wawan untuk menyusurinya. Sungai besar yang membelah kota Pontianak ini setidaknya dapat disusuri 800 km oleh kapal ferry hingga ke Kapuas Hulu dan lebih jauh lagi oleh perahu sampan. Bila belum bisa menyusuri sungai-sungai legendaris di dunia seperti Amazon, Nil atau Colorado minimal sungai terpanjang di negeri sendiri telah mereka coba susuri.
Telah lama ketiganya membicarakan petualangan yang lain dari yang biasa dilakukan. Terbiasa mendaki gunung, tebing atau rafting kini keingintahuan menggiring mereka untuk menjelajahi sungai besar yang merupakan sebuah atmosfer petualangan baru. Dengan lebar bisa mencapai 700 meter, sungai Kapuas jelas merupakan monster alam dimana sungai-sungai besar di Jawa seperti Citarum atau Bengawan Solo akan tampak seperti bayi saja dibandingkan dengannya. Muaranya pun tampak seperti laut saja, KM Bukit Raya yang mereka tumpangi kala menuju kota Pontianak terasa kecil dibanding muara sungai.
Aliran Sungai Kapuas merupakan urat nadi kehidupan bagi kota Pontianak sehinga keseharian warga kota ini akan selalu terlihat sepanjang aliran sungai terutama di daerah kota lama. Sungai ini membelah Kota Pontianak menjadi tiga bagian yakni Pontianak Barat dan Selatan, Pontianak Timur, dan Pontianak Utara. Bagi siapapun mengunjungi Pontianak tanpa menyusuri Sungai Kapuas akan seperti makan sayur tanpa garam.
Ketiganya memulai perjalanan sampan menyusuri Sungai Kapuas dari Kraton Kadriyah. Di tempat itulah para wisatawan biasanya tawar-menawar dengan pemilik untuk menyewa sampan menyusuri sungai. Selain perahu sampan, tersedia pula kapal ferry berkapasitas sekitar puluhan orang dari Dermaga Kampung Beting. Namun insting petualangan mereka lebih memilih sampan-sampan yang kecil dibanding kapal ferry dengan berbagai fasilitasnya.
“Sugan we meunang inspirasi kawas Abah Iwan nyieun lagu,” ujar Wawan. Abah Iwan yang dimaksud adalah Iwan Abdulrahman yang menciptakan lagu Seribu Mil Lebih Sedepa saat menyusuri sungai Lamandau dengan sampan di pulau Kalimantan. Dodi dan Firkan senyum-senyum karena tahu Wawan memainkan gitarpun tak bisa.
“Mun di gunung tara meunang inspirasi, Wan?” tanya Firkan.
“Paling meunang inspirasi jang muka sleeping bag,” ujar Wawan sekenanya.
Perjalanan bersampan mereka di sungai Kapuas terutama dilakukan di kawasan kota lama dimana kawasan ini merupakan propotipe masyarakat tradisonal Sungai Kapuas. Sebagai mahasiswa jurusan Antropologi, tak ada yang lebih menarik bagi ketiganya selain mengobservasi dan berinteraksi langsung dengan masyarakat disini yang terdiri dari beragam etnis. Etnis yang dominan dikawasan ini adalah Melayu, Dayak dan TiongHoa.
Warga di kawasan ini, sebagian besar masih mengandalkan kehidupan nelayan dengan mencari ikan di sepanjang Sungai Kapuas dengan perlengkapan yang masih tradisonal. Di atas sampan, para nelayan ini menangkap sekitar 300 ragam jenis ikan yang mendiami Sungai Kapuas. Namun ikan yang paling banyak dicari adalah ikan patin karena juga paling laku dipasaran.
Beragamnya kehidupan ditepi sungai membuat ketiganya tak pernah khawatir akan kebutuhan hidup sehari-hari. Bila ingin makan tinggal menepi saja ke rumah makan dan restoran yang terletak di tepian sungai. Menu ikan mendominasi hidangan rumah-rumah makan ini dimana sebagian besar berasal dari tangkapan nelayan di Sungai Kapuas. Demikian pula kala sudah sore dan waktunya beristirahat mereka memanfaatkan penginapan yang berada di tepian sungai.
“Munkitu di Amazon sare dina parahu,” ujar Wawan seperti biasa dengan nada hiperbolis.
Perjalanan menyusuri sungai memakan waktu hingga lima hari, dan cukup membuat kulit mereka gosong. Itupun baru sebagian kecil aliran sungai Kapuas yang disusuri, namun liburan semester sudah hampir habis sehingga mereka harus kembali pulang ke Bandung. Firkan yang kulitnya putih kini tampak seperti seharian telah berjemur di pantai, demikian pula Dodi dan Wawan semakin sawo matang dengan rambut kemerahan.
“Pas lah warna kulit sakieu mah kawas Indiana Jones.” ujar Dodi yang mengidolakan tokoh Indiana Jones yang diperankan oleh Harrison Ford itu. Memang karakter yang cocok dengan background pendidikan ketiga mahasiswa itu.
“Enya, ngan mun sapoe deui kawas George Weah,” timpal Firkan menyebut pemain kulit hitam AC Milan yang berasal dari Liberia.
Perjalanan ini memang tak cukup untuk mengeksplorasi sungai terpanjang di Indonesia. Namun mereka sudah bisa merasakan eksotika dan kemegahannya. Barangkali suatu saat mereka akan memiliki waktu yang lebih banyak untuk menyusurinya, mungkin hingga daerah Kapuas Hulu dan lebih jauh lagi menuju Taman Nasional Betung Keruhun yang berbatasan dengan Malaysia. Mungkin kelak bila sudah menjadi seorang antropolog.