Jagalah seragam mu maka suatu saat ia akan menjagamu
Seragam perhimpunan berupa syal kuning, kemeja warna biru muda (biru langit) dan jeans warna biru tua. Kostum elegan itu biasa dipakai pada momen-momen tertentu,seperti Musyawarah Perhimpuanan, diklat atau upacara. Kita selalu mengenakannya dengan penuh respek, penghargaan, bahkan patriotisme. Seolah seragam itu mengembankan Tridaharma Perguruan Tinggi bagi pemakainya. Aura kebesaran seragam perhimpunan itu tetap terjaga dan diwariskan hingga kini.
Pagar biru
Kami kerap merasa perlu menjaga perilaku bila mengenakannya, seolah ada etika tak tertulis untuk berperilaku saat memakainya. Kedengarannya berlebihan, tapi terasa ada aura wibawa yang mengawang bila melihat sejawat mengenakannya. Dengan mengenakan seragam perhimpunan, kami adalah karang yang tak kan beranjak walau ombak setinggi tsunami yang datang.
Sejak tahun 1993 tradisi gerak jalan Dies yang biasanya diselenggarakan disekitar kampus Dipati Ukur dipindahkan ke area kampus Jatinangor, Sumedang. Hanya sekitar dua puluhan orang korps biru langit yang bertanggung jawab atas kelancaran acara yang diikuti ribuan peserta dari seluruh fakultas/jurusan di civitas akademik di wilayah puluhan hektar. Mulanya terasa gamang melihat massa yang begitu banyak, namun melihat semua memakai seragam kebesarannya, kami pun“terbakar”. Sekarang atau tidak sama sekali.
Acara gerak jalan Dies kala itu berpotensi untuk chaos, karena friksi-friksi sering terjadi. Tahun 90-an adalah masa-masa penuh konfrontasi fisik. Cuaca panas di Jatinangor, yel-yel yang provokatif maupun supproter yang terlalu over terkadang membuat siapa pun lepas kontrol. Saat itu saya bersama Bais (KP), Eris (SH) dan anggota muda lain -lupa siapa saja- yang merupakan unit mobile terdekat ketika dua fakultas akan saling beradu saat gerak jalan berlangsung. Ketika dua gerombol fakultas yang emosional itu akan saling bertumbuk, kami meloncat dari mobil.. menyiapkan kuda-kuda.. sementara panitia Dies yang ikut dimobil gemetar tak berani keluar.. kami mengambil posisi berbaris renggang memisahkan dua massa yang terbakar emosi. Siap bila harus bernasib seperti segelintir tentara Sparta di Thermopylae.
Hanya ada empat orang korps biru langit saat itu dibanding dua ratusan massa mahasiswa yang panas berhadapan. Namun siapapun harus berpikir dua kali bila ingin menerobos pagar biru langit yang aral kagok edan -mungkin karena lapar, belum dapat jatah nasi bungkus- berdiri dengan dingin…… a Mexican stand off... ini benar-benar seperti suasana penggambaran Mexico di film koboi kala itu..tanah merah yang tertiup angin..udara panas..dan emosi memuncak di ubun-ubun..namun kepala harus tetap dingin. Suasana terasa mencekam selama setengah jam, seakan menunggu bom yang akan meledak. Untunglah beberapa lama kemudian sepasukan kamerad syal kuning datang dan turut mengamankan situasi. Namun saya akui selama setengah jam itu adalah momen sangat menegangkan, seperti kala berpapasan dengan banteng liar dalam pengembaraan di Ujung Kulon.
Man in Blue
Saya tak yakin telah menyampaikan sinyal yang tepat kepada massa bila kami hanya memakai T-shirt di siang yang panas ngajeos itu. Mengenakan seragam perhimpunan dan menjadi man in blue seolah memberi energi dan keberanian yang berlipat. Seakan ada patriotisme yang membakar dan membuat kami enggan beranjak.
Bila sudah mengenakan seragam perhimpunan, saya merasa yakin apapun tindakan kita saat itu sudah masuk kedalam teritori bersama. Kita semua wajib untuk saling mengingatkan akan etika yang harus dijaga, tanpa harus sungkan pada senioritas. Dengan senang hati saya akan menerima nasihat dari para junior bila memang menyimpang dari etika saat mengenakan seragam perhimpunan.
Banyak contoh kasus lain yang memperlihatkan kegigihan para sejawat yang berusaha keras menjaga kehormatan seragam perhimpunan, baik di kampus maupun pegunungan berketinggian ekstrim. Saya masih harus banyak belajar dari mereka semua. Dari masa ke masa, dari generasi pendiri hingga kini, mereka telah mewariskan kesakralan seragam itu. Selama ini saya tak permah melihat siapa pun diantara kita gagal menjaga amanat seragam perhimpunan dan kita harus bangga melihat generasi terkini yang tetap dengan gagah mengenakannya.